Program makan siang gratis ramai diperbincangan dewasa ini. Pasangan capres-cawapres Prabowo -- Gibran mengusung program tersebut sebagai salah satu program utama mereka. Saat perhelatan pemilu 2024, pasangan Prabowo-Gibran tidak bosan-bosan menyebutkan programnya tersebut. Mulai dari saat kampanya, iklan promosi sampai dengan panggung debat. Program ini tak luput dari pro dan kontra, Sebagian pihak meyakini bahwa program ini akan membantu Indonesia dalam mengatasi gizi buruk yang dialami oleh banyak anak di Indonesia. Di lain pihak, sebagain golongan menyebut bahwa program ini hanya akan membebani APBN yang mana efeknya tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Pasangan Prabowo-Gibran menyebutkan bahwa program makan siang gratis ini adalah untuk menekan angka stunting di Indonesia. Program ini akan membagikan makanan-makanan bergizi beserta susu yang diyakini dapat memenuhi gizi para penerima manfaatnya. Dalam pemenuhan gizi ini, implikasi yang diharapkan adalah menurunnya angka stunting di Indonesia dan menciptakan anak-anak Indonesia yang sehat dan cerdas, sehingga kualitas Suber Daya Manusia (SDM) juga akan meningkat. Selain tujuan penekanan angka stunting, program makan siang gratis ini juga diharapkan dapat menggerakkan ekonomi. Program ini akan menggaet Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam penyelenggaraannya seperti usaha catering. Selain itu, para pemasok bahan juga akan diuntungkan dari adanya program ini karena permintaan bahan makanan akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan program tersebut.
Program makan siang gratis menargetkan 82.9 juta anak sekolah di seluruh Indonesia. Bukan hanya menargetkan anak sekolah, program tersebut juga menargetkan pa balita dan juga ibu hamil. Dilansir dari CNBC, program tersebut dilakukan secara bertahap mulai dari tahun 2025. Pada tahun pertama akan menyasar 40% dari keseluruhan anak sekolah. Pada tahun kedua direncanakan ditingkatkan menjadi 80% dari total keseluruhan siswa. Pada tahun 2029, program makan siang gratis ini diproyeksikan akan menyasar 100% atau keseluruhan dari jumlah anak sekolah di Indonesia. Program ini tidak dilaksanakan secara serentak karena pemerintah harus mempersiapkan anggaran terlebuh dahulu.
Dilansir dari BBC, Budiman Sudjatmiko menyebutkan program makan siang gratis membutuhkan alokasi anggara sebesar 50 triliun-60 triliun dari total kebutuhan dana sebesar 100 triliun-120 triliun pada tahun pertama penyelenggaraannya. Apabila berjalan sepenuhnya, program tersebut membutuhkan anggaran sebesar Rp450 triliun. Beberapa waktu lalu berbagai media mengabarkan bahwa program makan siang gratis akan menggunakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Hal ini mendapat banyak kritik dari pakar sampai dengan guru. Mereka menyebutkan bahwa sebaiknya program makan siang gratis tidak menggunakan dana BOS. Sebelum adanya program ini saja dana BOS belum cukup untuk menutupi beban anggaran sekolah. Penggunaan dana BOS untuk program makan siang gratis dikhawatirkan akan memperburuk pemenuhan kebutuhan operasional sekolah-sekolah.
Dilansir dari  CNN, program makan siang gratis sudah diterapkan di 25 negara Uni Eropa dengan penerima manfaat sebagian besar adalah anak-anak yang bertujuan untuk perawatan anak usia dini, dan pemenuhan nutrisi. Setiap negara memiliki ketentuan penerima yang berbeda-beda. Negara-negara Uni Eropa yang menerapkan program makan siang gratis antara lain adalah Swedia yang menggratiskan makan siang untuk siswa sekolah dasar dan menengah. Latvia memeberikan makan siang gratis kepada siswa kelas 1-4 SD. Ada juga beberapa negara yang memeiliki target tertentu untuk penerimanya, seperti Republik Ceko dan Luksemburg, Portugal, Slovenia dan Slowakian yang menetapkan target penerimanya adalah anak dari keluarga berpneghasilan rendah.
Tujuan utama dari program makan siang gratis adalah sebagai intervensi untuk menekan angka stunting dengan memenuhi gizi anak-anak di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah cara ini efektif untuk tujuan tersebut jika dilihat dari segi ilmu kesehatan? Jika kita membicarakan mengenai pencegahan atau penekanan angka stunting tentu saja kita harus melihat dari segi ilmu kesehatan. Lalu apakah pencegahan dan penekanan angka stunting cukup hanya dengan pemberian makan? Karena banyak faktor yang dapat menyebabkan stunting pada anak-anak. Selanjutnya, bagaimana strategi pembangunan masyarakat melihat program makan siang gratis ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis uraikan lebih lanjut dalam pembahasan kali ini.
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut kita harus memahami terlebih dahulu apa aitu stunting. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari ketidakseimbangan gizi. Dilansir dari World Health Organization (WHO) stunting diartikan sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anak-anak akibat gizi yang buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Stunting didasarkan pada indeks Panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) (Apriluana, Fikawati, 2018). Stunting menjadi persoalan karena berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motoric anak dan terganggunya pertumbuhan mental. Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari masa kehamilan sampai usia 24 bulan (Mitra, 2015). Ciri dari anak yang mengalami stunting adalah pertumbuhan yang melambat, wajah tampak lebih muda dari anak seusianya, pertumbuhan gigi terlambat, performa buruk pada kemampuan focus dan memeori belajarnya, pubertas terlambat, dan usia 8-10 tahun anak menjadi pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata terhadap orang lain di sekitarnya ( Setiaji, 2018 dalam Rafika 2019)
Stunting pada anak memiliki efek yang fatal dari segi fisik, psikologis, kesehatan sampai dengan ekonomi anak saat dia dewasa. Dari segi fisik, pertumbuhan anak yang mengalami stunting akan mengalami keterhambatann sehingga ia memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan anak seusianya. Stunting juga mempengaruhi daya tahan tubuh anak, anak yang mengalami stunting lebih mudah jatuh sakit karena sistem kekebalan tubuhnya lemah. Stunting meningkatkan resiko anak terkena penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di masa depan. Kondisi psikologis anak yang mengalami stunting juga terganggu, yang paling banyak ditemui adalah anak dengan stunting memiliki risiko perkembangan kognitif, motorik, dan verbal yang kurang baik. Perkembangan yang kurang optimal tersebut berdampak pada kapasitas belajar dan prestasi belajar menjadi kurang optimal (Kemenkes, 2018; Susan P. Walker, Susan M. Chang, Christine A. Powell, Emily Simonoff, Sally M. Grantham-McGregor, 2007). Risiko disfungsi sosial juga mengancam anak yang mengalami stunting, anak yang mengakami stunting terdeteksi memiliki kepercayaan diri yang rendah dan berisiko memunculkan masalah keluarga Ketika menginjak usia remaja. (Erfanti, D.O., Setiabudi, D. and Rusmil, K.,2016). Setelah anak beranjak dewasa, anak dengan stunting terancam dengan menurunnya produktivitas mereka dikarenakan kemampuan belajar dan berpikir mereka yang terganggu. Stunting berkaitan dengan kurangnya kesempatan kerja dan pendpatan yang lebih rendah di masa depan.
Stunting pada anak disebabkan oleh berbagai faktor, penyebab utama dari stunting memanglah kurangnya supan gizi anak, tetapi terdapat faktor yang menyebabkan kenapa seorang anak tidak mendapatkan gizi yang cukup. Pendidikan ibu berpengaruh dengan kejadian stunting. Pravelensi stunting lebih tinggi di antara anak-anak yang ibunya belum menyelesaikan pendidikan dasar dibandingkan dengan mereka yang telah menyelesaikan sekolah menenagh. Penelitian yang dilakukan oleh Torlesse et al menunjukkan bahwa kejadian stunting pada anak signifikan lebih besar di antara anak-anak yang ibunya tidak menyelesaikan Pendidikan dasar dibandingkan dengan mereka yang menyelesaikan sekolah mengengah atas. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang dengan Tingkat Pendidikan lebih tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang berkualitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah (Apriluana, Fikawati, 2018)
Pendapatan rumah tangga juga memiliki korelasi dengan kasus stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rajoo et al menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga yang rendah memiliki koelasi dengan kasus stunting. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang berpendapatan rendah lebih sulit untuk mengakses makanan-makanan bergizi dan juga fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan abhwa stunting berhubungan dengan rendahnya kondisi ekonomi. Ekonomi keluarga merupakan modal dasar untuk menunjang keleuarga yang sehat karena mempengaruhi kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi (Apriluana, Fikawati, 2018).
Sanitasi lingkungan juga berpengaruh pada kasus stunting anak. Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang optimal sehingga berpengaruh positih terhadap kesehatan para penghuninya. Penelitian yang dilakukan oleh Hong et al dan Ahmed et al menunjukkan bahwa anak yang berasl dari rumah tangga yang tidak memiliki akses toilet lebih mungkin untuk mengalami stunting. Kurangnya akses sanitasi mengarah pada masalah kesehatan seperti cacing parasit (Apriluana, Fikawati, 2018).