Terkait kasus "contek massal" yang terjadi beberapa waktu lalu, timbul pertanyaan apakah benar ini adalah akibat dari tuntutan pemerintah terhadap Hasil Ujian Nasional yang harus memenuhi target atau justru karena para "penerang dalam gulita" (re:guru) menyadari kompetensi yang mereka miliki dalam menanamkan metode pengajaran terhadap para muridnya kurang mengenai sasaran. Pernyataan Menteri Pendidikan tentang tidak adanya contek massal karena pola jawaban dan hasil yang berbeda memang mampu meredam kemarahan para orang tua yang merasa dirugikan oleh pengakuan Ibu Siami, namun masyarakat luas pun memiliki opini sendiri bahwa bagaimana mungkin siswa yang sebelum Ujian Nasional berlangsung memiliki nilai dibawah rata-rata tiba-tiba saja nilainya melonjak dan bahkan hampir mendekati nilai sang pemberi jawaban. Asumsi yang berkembang pun menyatakan bahwa walaupun terjadi perbedaan nilai namun tetap saja hal itu dianggap contek massal, karena putra Ibu Siami, Aam, tidak memberikan seluruh jawaban dengan benar kepada teman-temannya.
Topik ini menjadi pembahasan yang hangat diantara para rekan-rekan akademisi. Mereka mempertanyakan apa sebenarnya tujuan dari pendidikan itu sendiri, apakah keberhasilan suatu pendidikan dilihat dari "hasil" yang dicapai atau bagaimana "proses" pembelajaran itu dilakukan. Namun yang pasti adalah apabila institusi pendidikan ingin mencapai suatu hasil yang maksimal maka "proses" adalah hal yang perlu ditekankan dengan membentuk desain yang tepat untuk mencapai hasil yang maksimal. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan Ujian Nasional sebagai tolok ukur kelulusan siswa mungkin dianggap sebagian orang hanya akan membuat stress baik untuk siswa itu sendiri maupun pihak sekolah. Namun disisi lain, sebagian orang beranggapan bahwa dengan era globalisasi sekarang ini, mau tak mau kita harus menerima Ujian Nasional diberlakukan. Meskipun demikian, justru dengan diberlakukannya Ujian Nasional dan terjadinya kasus ibu Siami ini, telah membuka mata kita bahwa system pendidikan yang berlaku di negara Indonesia ini masih perlu ditelaah kembali apa tujuannya dan keefektifannya terhadap tujuan tersebut, serta mengisyarakatkan bahwa kita belum siap mengejar bahkan menyamai kecepatan globalisasi yang terjadi di dunia sekarang ini. Sebagai contoh, Malaysia, beberapa decade yang lalu memilih Indonesia sebagai tempat warganya untuk studi, kini justru posisinya terbalik. Berdasarkan Education Development Index, Education For All (EFA, UNESCO) Global Monitoring Report 2008, Index Pembangunan Pendidikan Indonesia (0.934) berada dibawah Brunei Darussalam (0.975) dan Malaysia (0.945). Tidak perlu berkecil hati hai Saudara, dilihat dari komposisi wilayah dan populasinya pun Indonesia jauh lebih besar daripada kedua negara tersebut, wajar saja kita tertinggal (tapi kita masih mampu mengejar toh?).
Apabila tujuan pemerintah adalah untuk mengejar ketertinggalan tersebut dan juga untuk menyesuaikan pergerakan globalisasi sekarang ini, perlu kiranya pemerintah mensosialisasikan tujuan tersebut kepada masyarakat. Ketiadaan pemerintah dalam mensosialisasikan tujuan pendidikan tersebut hanya akan menambah panjang keluhan masyarakat tentang tidak tepatnya Ujian Nasional itu diberlakukan, ditambah lagi dengan adanya distinctiveness masyarakat Indonesia baik dalam hal budaya, ekonomi dan pengetahuan serta jumlah penduduk yang sudah mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Apabila jumlah yang luar biasa ini tidak ditangani dengan baik, maka hal ini bukan menjadi kekuatan Indonesia bahkan berbalik menjadi beban kita.
Dengan mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatian pemerintah terhadap masa depan bangsa Indonesia memasuki era globalisasi yang penuh persaingan ini tentunya akan mendorong pola pikir masyarakat untuk sama-sama mencari solusi untuk dapat mengatasi kondisi ini. Pemerintah pusat khususnya yang didaerah harus lebih merangkul masyarakatnya dalam hal mendesain system pendidikan. Komite Sekolah kiranya dibentuk bukan hanya untuk membicarakan hal-hal ceremonial ataupun jual-beli buku paket tapi juga sebagai wadah untuk membahas desain system pendidikan yang sesuai bagi anak-anak mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pemerintah sah-sah saja menekankan kuantitas (nilai) untuk memperoleh putra putri bangsa yang punya daya saing, namun pemerintah perlu juga memperhatikan kesiapan dan desain yang ideal terhadap system pendidikan yang ada untuk mendapatkan putra-putri bangsa yang berkualitas. Jadi, apa usaha pemerintah dalam menyadarkan dan menggerakkan masyarakat untuk mau berpacu dengan perubahan dunia yang terjadi saat ini khususnya dalam dunia pendidikan? Dan bisakah masyarakat membedakan antara curhat atau mengeluh dengan sharing sebagai upaya pemerintah dalam merangkul warganya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H