Dalam kasus kriminalisasi kelompok minoritas apa saja (termasuk bisa jadi mayoritas di lingkungan minoritas, di daerah lain yang mayoritasnya beda), setelah menghadapi persoalan perbedaan keyakinan dengan gaya lama, yaitu pertama, ribut-ribut di media perihal isu 'aliran menyimpang dan sesat', kedua, entah bagaimana perkampungan golongan minoritas, berhasil diserang warga di situ (bisa jadi lain kabupaten), baik dengan cara dibakar perumahannya, atau dirusak; ketiga bupati beserta jajarannya, dengan didukung ormas-ormas keagamaan dibuat sepakat agar mereka angkat kaki; keempat; pemerintah pusat dibuat tak berdaya selain menuruti keinginan mereka. Satu hal yang masih perlu dilihat sebagai positif, yaitu perlindungan jiwa para terusir tersebut. Namun, hal kelima, aparat hukum dan pengadilan tidak berminat menyelidiki dan menyidik, bagaimana individu pelaku penyerangan itu perlu diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.
Hal keenam, ialah, lembaga yudikatif resmi, juga gagal mengidentifikasi, apakah masyarakat minoritas yang mempunyai keyakinan tertentu itu salah secara hukum positif, baik pidana maupun perdata. Sepertinya mereka mengamini, bila lembaga keagamaan, dengan bebas, dan tentu saja sesuai keyakinannya, menilai-nilai dan menghakimi keyakinan orang lain. Okelah, semua orang berhak berpendapat perihal keyakinan orang lain. Namun, berbeda dengan MUI dan para pendukungnya. Bila mereka berbicara dan berfatwa menuduh dan menilai ke satu atau beberapa pihak lainnya sebagai salah, menyimpang atau sesat (bisa jadi ada yg salah dari yg dituduh, bisa jadi, bahkan banyak yang tidak benar juga); serta merta individu atau oknum pemerintah dan aparatnya yang secara pribadi memiliki keyakinan sama meresponsnya. Meski MUI hanya sekedar menilai 'sesat dst', namun, sama sekali mereka tidak punya solusi kreatif dan beradab guna menghadapi persoalan perbedaan keyakinan. Setelah selesai berfatwa, mereka diam dan membiarkan pemerintah lokal yang punya kesamaan ideologis 'mengeksekusi' sasaran tertuduh. Eksekusinya, sederhana, minta mereka bertobat atau angkat kaki, kalau tidak, tidak bertanggungjawab. Jika warga melakukan anarkis. Beginikah kita mengatur negara??
Ketujuh, tidak adanya kreatifitas tradisi baru yang mencerdaskan guna menyelesaikan masalah yang memang tidak akan selesai, perbedaan keyakinan dan kepercayaan. Tentu saja sangat mudah dan sederhana. Hanya perlu rasionalitas, keteguhan hati dan keberanian. Siapa yang terbukti merugikan jiwa, harta dan properti orang lain, ditindak tegas. Soal perbedaan keyakinan, solusinya mudah, kedepankan kebebasan berkeyakinan, jangan mudah sentimen dan tersinggung dengan pertentangan atau penjelasan beda pihak lain yang berbeda keyakinan. Perbedaan keyakinan takkan pernah bisa diselesaikan di dunia. Dianggap selesai bisa, dengan cara menghabisi orangnya dst. Tapi keyakinan dan kepercayaannya tetap ada. Lagipula apakah itu membuat kita pantas disebut manusia. Sudah takdir Allah, itu semua perbedaan dan pertentangan keyakinan dan agama hanya akan selesai lewat penghakiman Allah di hari kemudian. Tidak di dunia ini.
Saya berharap, pemerintahan Bapak Jokowi sadar betul akan hal ini. Semoga tinta emaslah yang Bapak Jokowi tulis. Bukan tinta merah. Semoga tertulis dalam sejarah, hal-hal baik dan membangun dari pemerintahan Bapak Jokowi. Sebab, Gubernur Bangka Belitung, adalah satu partai dengan Bapak Presiden. Begitu juga wakil Bupati Bangka, Rustamsyah dari PDI-P. Meski, sang Bupati, dari PKS. Ingatlah, Bapak Presiden, orang-orang dari mana, yang secara keji banyak memfitnah, atau kampanye hitam kepada Bapak saat pemilihan umum kemarin...Ingatlah pak...para pemfitnah itu, bukan dari kalangan kami...orang-orang berjumlah kecil yang kurang dipandang, yang berfokus utk bisa mendapat hak hidup dan menjalani kehidupan dengan mematuhi konstitusi RI, dan dengan hati-hati tidak akan merugikan sesama bangsa. Boro-boro memfitnah orang..apalagi semulia dan seterkemuka Bapak Presiden. Jangan biarkan kezaliman ini terjadi. Ingatlah pepatah lama, kekekalan, baik itu nama baik atau lama memerintah, seorang raja (pemimpin), ialah dengan keadilan.
Sekian terima kasih semoga Allah swt selalu membimbing kita dalam membangun masyarakat Indonesia yang toleran dan berkemajuan.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan akhir doa kita ialah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Salam hormat,