Siapa yang menyangka bahwa upaya bersifat pribadi dari seseorang dapat mengubah bahkan mengobrak-abrik jalannya status quo yang mapan, bahkan mengubah sejarah yang disangkakan orang takkan menyamping. Orang itu adalah Henry VII, raja Inggris pada 1491-1547. Tak kunjung mempunyai keturunan, ia mendesak gereja Katholik untuk mengizinkannya menikah lagi. Paus, pimpinan gereja Katholik menolak. Akibatnya, Raja Henry VII memisahkan diri dari Gereja Katholik dan mendirikan gereja Inggris. Dan ia melegitimasi pernikahan keduanya dengan Anne Boleyn dengan upacara menurut keyakinan barunya.
Henry VIII lalu terlibat konflik dengan gereja-gereja Katholik Eropa. Untuk perang ia butuh biaya. Maka, dengan cerdik ia mengincar properti dan tanah pertanian milik gereja dan biara-biara. Saat itu, Eropa merupakan teokratik. Negara dan Gereja-lah pemilik sebagian besar tanah pertanian. Henry VIII menjual tanah-tanah gereja dan biara kepada para bangsawan sedikit demi sedikit. Ternyata, tindakan Henry VIII mempunyai dampak positif secara ekonomis. Tanah-tanah dalam pengelolaan para pemilik baru sedikit demi sedikit meningkat maju dalam produktifitas dan efisiensi. Negara pun mendapat untung dengan kenaikan pungutan pajak. Sains dan ilmu ekonomi berkembang. Dan, inggris pun langkah demi langkah maju dalam perekonomian hingga meledak dalam revolusi industri.
Salah satu faktor utama dari itu semua ialah pencegahan tanah-tanah agar tidak dikuasai besar-besaran oleh satu pemilik dan pengelola (yaitu gereja dan negara), melainkan dishare ke berbagai pihak yang berminat dan berupaya sedapat mungkin mendapatkan produktifitas dari tanah tersebut.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H