Mohon tunggu...
Dilbar Sarasvati
Dilbar Sarasvati Mohon Tunggu... PNS Direktorat Jenderal Bea dan Cukai -

Anak keturunan Manu yang sedang mencari siapa saya dan saya siapa http://kirakirademikian.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sarinah : Hal yang Terlupakan

15 Januari 2016   11:02 Diperbarui: 15 Januari 2016   13:56 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sarinah dan hal-hal yang terlupakan... ( Foto Credit to : historia.id )"][/caption]Pada hari yang telah menjelma menjadi kemarin, semua bahan pembicaraan tiba-tiba berubah membahas tentang bom sarinah. Di televisi, di f*cebook, di media pemberitaan lainnya, bahkan bahasan di group wh*tsapp  tiba-tiba berubah pula menjadi tentang Sarinah dan bom di pangkuannya.

Jujur saja, aku tidak ingin ambil pusing soal teori pengalihan isu, teori terorisme, teori konspirasi, atau teori-teori lainnya yang tiba-tiba saja banyak bermunculan. Dan tiba-tiba saja banyak orang yang menjadi ahli dadakan dan membela teori yang dianggapnya benar. Sedang aku? Aku memilih sadar diri bahwa aku tidak seahli itu untuk mengungkap apa yang sebenernya terjadi dan sebenarnya apa yang terjadi. Aku juga takut lupa diri. Takut tenggelam dalam fanatisme akan suatu teori, kemudian merasa benar sendiri. Padahal aku tidak tahu mana yang sesungguhnya benar-benar benar. Semua masih terduga benar bukan?

Dari kejadian bom Sarinah kemarin, hanya satu hal yang masih membuatku gagal paham : masih ada manusia yang kehilangan kemanusiaannya dan kemudian mengorbankan manusia lainnya.

Itu yang menjadi pikiranku. Meski ragaku di Jakarta baik-baik saja dan masih beraktifitas seperti biasa pula. Kemarin sore aku masih jogging mengitari area kantor. Dan aku menutup hariku dengan menengguk secangkir kopi dan memakan sepotong dada ayam tanpa nasi dari restoran cepat saji American Branded tidak jauh dari kantorku. Semua baik-baik saja. Berjalan seperti biasanya.

Saat pulang kembali ke tempat tinggalku. Aku masih terngiang tragedi kemanusiaan bom Sarinah itu. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku teringat bahwa aku telah melupakan sesuatu. Aku melupakan Sarinah yang lainnya. Ia masih teronggok dalam kardus pindahanku sejak tiga bulan yang lalu. Ia masih disitu, tenang dan menungguku. Buru-buru aku membongkar kardus itu. Dalam kardus itu, bersama Sarinah kutemukan hal-hal lainnya yang juga kulupa : Buku-buku Raden Ngabehi Ranggawarsito, Geguritan Calon Arang, TIA, dan masih banyak buku lainnya. Ada juga buku-buku Tan Malaka yang menyusup diantara mereka. Dan kutemukan Sarinah, yang sama terlupanya, diantara mereka. Dalam kardus kuluh yang berdebu itu, Sarinah-ku masih suci. Ia masih terbungkus plastik yang sama, sedari ia keluar dari rahim penerbitnya. Merah putih mewarnai raganya, menantangku untuk membacanya. Kuselamatkan Sarinah-ku seketika.

[caption caption="Dan ini Sarinah-ku, yang terlupa sejak lama... (foto : dokumen pribadi)"]

[/caption]

Pagi ini, aku ke kantor seperti biasa. Tak lupa Sarinah-ku kuajak ke kantor. Kuletakkan di sisi meja kerjaku supaya aku tak lupa bahwa dia ada. Supaya aku tak lupa bahwa aku masih harus mengenalnya lebih dalam, melalui lembar-lembar kertas yang entah berapa jumlahnya. Aku harus mengenalnya lebih dalam agar aku bisa menceritakan sebab musabab keabadiannya dikenang dalam sebuah ruang. Ruang yang kemudian menanggung tragedi berdarah, merah, semerah muka Sarinah-ku yang pernah terlupa.

Sarinah-ku masih diam, seperti dahulu. Ia masih menanti kala yang tepat untuk aku mengenalnya. Sarinah-ku diam, tapi ia mengingatkanku. Ia mengingatkanku bahwa banyak hal-hal yang terlupakan saat aku menjalani hidupku. Tentang buku-buku itu : Si Zaman Edan, Si Cemporet, Si Jayengbaya, Si TIA, Si Calon Arang, juga Si Tan Malaka yang menyusup diantara mereka.

[caption caption="Hal-hal lainnya yang hampir terlupa ( foto : dokumen pribadi )"]

[/caption]

 

Sarinah-ku melarang lupa. Tentang hal-hal kecil di sekitar yang sering kuabaikan : cerahnya mentari pagi ini, semburat mega mengangkasa, sedikit kabut polusi yang menyelimuti, burung-burung yang entah kemana mengungsi, juga secangkir kopi yang selalu kusukai. Tentang janji-janji yang pernah kuikrarkan, termasuk janjiku padamu malam ini di sebuah kedai kopi. Kedai kopi yang sama dengan pangkuan Sarinah yang meledak kemarin.

Dan aku akan menepatinya.

 

Jakarta, 15 Januari 2016

 

Dilbar Sarasvati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun