Mohon tunggu...
Dila Fadhilah
Dila Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN WALISONGO SEMARANG

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perempuan sebagai Korban Pembunuhan

7 Mei 2024   11:09 Diperbarui: 7 Mei 2024   11:38 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dila Fadhilah 

Mahasiswi Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang 

Fenomena femicide, yang juga dikenal sebagai pembunuhan terhadap perempuan, adalah bentuk kekerasan yang sangat kompleks dan berbahaya terhadap perempuan. Femicide adalah pembunuhan yang disengaja dengan motivasi terkait gender yang menyasar korban perempuan.

Fenomena femicide juga terkait dengan budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat. Budaya ini dapat mempengaruhi cara masyarakat memandang perempuan dan dapat memicu kebencian dan kekerasan terhadap mereka.

Secara global, terdapat 81.000 perempuan dan anak perempuan terbunuh pada tahun 2021, sekitar 45.000 di antaranya (56%) meninggal di tangan pasangan dekat atau anggota keluarga. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku pembunuhan terhadap perempuan adalah orang terdekat korban, seperti suami, mantan suami, atau pasangan. 

Aksi Tarsum yang  melakukan pembunuhan dan mutilasi kepada istrinya sendiri bernama Yanti pada Jumat (3/5/2024), adalah salah satu bukti bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam konteks kekerasan seksual, tetapi juga dalam relasi intim yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan cinta.

Faktor Pendorong

Dalam beberapa kasus, pembunuhan terhadap perempuan dapat dipicu oleh beberapa faktor. Pertama. Stereotip peran gender. Penstereotipan yang sudah mengakar di dalam masyarakat yang menganut budaya patriarkhii, di mana sifat-sifat maskulinitas lebih dihargai dari pada sifat-sifat feminitas ikut mewarnai bagaimana persepsi perempuan terhadap dirinya sendiri (Ismiati, 2018). Dengan demikian, stereotip peran gender yang menganggap perempuan sebagai objek yang harus tunduk di bawah kontrol laki-laki dapat memicu kekerasan terhadap perempuan dan membatasi hak-hak mereka. 

Kedua, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Kondisi diskriminasi ini dapat mempengaruhi perempuan menjadi korban pembunuhan karena mereka seringkali tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya, keamanan, dan perlindungan yang diperlukan untuk mempertahankan diri.

Contoh kasus pembunuhan dengan korban berinisial S (18) di Serang, Banten, yang dibunuh dan diperkosa ER (17) gara-gara menolak cinta dengan alasan sifat maskulin si lelaki merasa terganggu karena sudah di tolak cintanya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya anggapan bahwa perempuan sebagai objek yang lebih lemah dan mudah diinjak dapat mempengaruhi perilaku  laki-laki yang menganggap dirinya lebih kuat dan berhak untuk menguasai perempuan.

Ketiga, hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Kekuasaan patriarki, yang memprioritaskan laki-laki sebagai pemegang kuasa dominan, telah berkontribusi pada diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam beberapa budaya, kekuasaan patriarki telah menghasilkan struktur sosial yang menganggap perempuan sebagai subjek yang lebih rendah, sehingga mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi.

Keempat, norma-norma yang merugikan. Norma-norma ini dapat mempengaruhi perempuan dalam cara berpikir dan berperilaku, sehingga mereka lebih cenderung untuk menerima kekerasan dan diskriminasi sebagai bagian dari kehidupan mereka. Norma-norma ini juga dapat mempengaruhi perempuan dalam cara mereka dianggap dan dihargai oleh masyarakat, sehingga mereka lebih rentan terhadap kekerasan.

Peran Budaya dan Norma

Kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan seringkali terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender yang ada di masyarakat (Alhakim, 2021). Maka Peran budaya dan norma dalam fenomena perempuan sebagai korban pembunuhan dapat dilihat sebagai faktor yang sangat penting dan mampu mempengaruhi cara masyarakat menanggapi kekerasan terhadap perempuan. Budaya dan norma dapat membentuk persepsi, sikap, dan tindakan terhadap perempuan dalam masyarakat.

Norma sosial dan budaya yang mendasari penerimaan kekerasan terhadap perempuan harus diubah untuk menghentikan kekerasan ini. Perempuan harus memiliki akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya lainnya untuk mengurangi kemungkinan mereka menjadi korban kekerasan.

Pembunuhan keji pada perempuan yang terus berulang menunjukkan ketiadaan ruang aman bagi perempuan. Maka saatnya ciptakan ruang aman bagi perempuan.

Referensi:

Ismiati, I. (2018). Pengaruh Stereotype Gender Terhadap Konsep Diri Perempuan. Takammul: Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak, 7(1), 33-45.

Alhakim, A. (2021). Kekerasan terhadap Perempuan: Suatu Kajian Perlindungan Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 115-122.

https://www.womankind.org.uk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun