Bahagialah bagi orang yang hidupnya tak takut mati. hidup yang kosong menyerah tanpa daya, lebih berat kuderita. Aku tak bisa diam saja melihat mayat saudaraku tak diberi upacara sebagaimana layaknya.Â
(Kepada Pemimpin Paduan Suara) Mungkin aku, kamu sebut dungu, tapi bagiku, kamu lemah dan tak punya pendirian"
Dari kejauhan para Paduan Suara (rakyat) bergumam "Wah, bagai karang ia. Seperti bapaknya! teguh tak gampang tergoda!"
Creon merasa tertantang dengan jawabanÂ
Antigone "Aku kenal sungguh watak yang kukuh. Sekali kubentur akan rapuh. Biarpun baja, ada juga kelemahannya. Kuda yang galak bisa jinak dengan rumput sekotak. itulah yang dia butuhkan; kendali! gadis ini mengerti ia bersalah, namun merasa bangga dan megah. bila hal ini aku diamkans aja, maka sebut ia lelaki dan aku wanita.
Aku tak peduli kalau ia kemenakanku. Aku tak peduli kalau ia paling dekat di hatiku. ia dan Ismene tak akan bebas dari hukuman. Ya, aku tahu Ismene juga ikut terlibat dalam hal ini. Tangkap dia! AKu lihat ia diberanda istana bicara seorang diri, seperti setengah gila. Ya, itulah siksaan batin, akibat menyembunyikan dosa"
Tidak ada yang bisa melawan keputusan Raja yang berkuasa. Antigone dengan pembelaanya selalu bergelora. Sampai akhirnya Ismene datang dengan hati yang berduka.
"Ismene. Ismene. Di situ kamu menangis tersedu. Kamu tangisi saudarimu. Wahai bencana, awan dukacita menutup kemolekannya" suara suara dari rakyat
Creon lansung menoleh dan darahya langsung naik ke ubun-ubun "Nah, kini kamu! Tenang-tenang menghanyutkan, diam-diam berbahaya. Sukar dibayangkan kalau selama ini aku piara dua ular di dalam rumahku, siap memagut tangan yang menyuapinya.
Sekarang bagaimana, kamu mau mengaku kalau kamu selama ini terlibat dalam pelanggaran perintahku?"
Penuh keyakinan Ismene berhadapan dengan Creon dan suadaranya Antigone "Aku kerjakan apa yang ia kerjakan. Aku terlibat dan rela mendapat hukuman"
Sebuah pengakuan palsu yang membuat Antigone membrontak  "Tidak benar! Kamu tidak mau membantuku dan aku menolak campur tanganmu"