Bendera diatas Pusara
Daun kering telah, gugur
Rumput liar bersemarak dengan ilalang
Sebuah keramik tua berdiri kokoh di atas gundukan tanah
Pagar besi berkarat tertancap keras
Di tepi jalan raya
Di samping bangunan kayu
Aku terdiam beku
Kupaksa kaki ini melangkah dan mendekati pusara
Terukir sebuah nama yang tak kukenal
Di bawah kibaran bendera merah putih
Dalimi itulah namanya
Telah gugur melawan Belanda di Lampasi
Pada 10 Maret 1949
Ternyata, kau adalah pahlawan ditanah kelahiranku
Kau, adalah satu dari jutaan jiwa
Berjuang untuk mati
Demi kemerdekaan hayati
Betapa sombongnya aku dan generasiku
Betapa tulinya telingaku tak mendengar teriakan diujung bambu yang kau pegang
Betapa butanya mataku akan sosokmu setelah jutaan detik waktu yang kulewati
Mulutku sudah bisu untuk bertanya, berdoa tentang perjuanganmu
Kalian,
Para penabur benih kemerdekaan
Kami telah memetik buah manis
Dari tetesan darah hitam
Keringat kuning
Airmata merah
Dan muntahan kulit ubi
Dulu,
Kalian lupa cara untuk tidur
Sekarang kami tidur dalam ulur
Otak zaman menjadi tumpul
Dalam media maya simpul
Aku malu jadi aku
Merdeka tapi tak tahu
Di negeri sendiri menjadi halu
Sekarang, aku mengerti aku kini
Oleh pejuang bambu
Hormat dan doaku sebagai bukti
Bahwa kalian tak terganti sampai hayatku.
Mungka, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H