Mohon tunggu...
Ayudila Arioksa
Ayudila Arioksa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Motto: Lucidity and Courage

Hiduplah seperti air hujan yang lebih memilih tanah, daripada berdiam diri diatas langit. -arioksa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Buang Keraguan Tes Swab di Puskesmas Terdekat

24 Februari 2021   13:53 Diperbarui: 24 Februari 2021   13:59 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Informasi kian meluas, berita hoak semakin merayap"

Musim pandemi belum berakhir. Setelah pergantian bulan dan pergantian tahun pun telah kita lewati. Namun kondisi dan korban positif korona makin bertambah. Hingga akhirnya orang-orang terdekat di vonis positif covid 19.


Satu Tahun di Jakarta


Bertahan di kota Jakarta adalah pilihan beberapa perantau untuk mencari peruntungan. Awalnya semua berjalan lancar, namun pada hari senin (2/3) 2020 Presiden Jokowi mengumumkan bahwa salah satu rakyat Indonesia dinyatakan positif. Hingga hari ini masih berdasarkan info di Liputan 6 oleh Devira Prastiwi, total yang positif korona 1. 298.608 positif, sembuh 1. 104.990 dan meninggal 35.014

Mengingat keadaan yang semakin pelik. Pemerintah pun mengeluarkan edaran PSBB di beberapa titik di Indonesia. Terutama Jakarta yang menjadi pusat perekonomian di Indonesia. Dampak besar dari PSBB perusahaan besar swasta maupun negeri tutup sementara, WFH, sekolah dan kampus belajar daring, hingga merambat ke usaha kecil rakyat di pinggir jalan, semuanya mengeluh.
Jakarta sempat beberapa bulan seperti kota mati. Semua aktifitas yang berhubungan dengan orang banyak musnah. Beberapa pendatang pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Pemerintah pun mulai kwatir dengan keadaan yang rumit merekapun memberikan bansos untuk warga sekitar, berupa beras, mie, dan bahan pokok lainnya. Sampai sekarang santunan bansos dari dampak corona ini masih berlangsung.


Dibalik ini semua saya sebagai perantau masih bertahan di Jakarta dan menjalani kehidupan pasang surut bersama seorang teman dan menetap di sebuah kosan di Jakarta.
Selama melakukan aktifitas diluar, saya dan teman mematuhi tiga M "memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan" tindakan simple yang harus dan kudu wajib dijalani semua orang. Meskipun demikian salah satu teman kosan divonis positif korona. Sempat khwatir karena kita satu kosan. Apalagi kita, sempat ngobrol beberapa hari yang lalu.

Hingga akhirnya pemilik kos mewajibkan kita untuk tes covid secara mandiri atau ke puskesmas.
Saya langsung konfirmasi keatasan kerja, atas kondisi yang saya hadapi ini, dan siap menerima resiko hasil tes. Untunglah, atasanku bisa memahami keadaan. Mengingat biaya tes PCR itu mahal. Kisaran dari 250.000-450.000 yang biasa, hingga jutaan. Sebagai anak kos saya dan teman memutuskan untuk tes gratis di Puskesmas Kebayoran saja.


Semua persyaratan sudah dipenuhi, dan jadwal pun keluar tanggal 29 Januari 2021. Saya pun dan teman datang jam 10 pagi. Sekedar info buat teman-teman tes covid di puskesmas itu berlangsung dari jam 10 pagi sampai jam 12 siang. Sebelum tes saya selalu minum Uc 1000 tiap siang, dan malamnya satu gelas wedang jahe .


Rasa cemas dan gelisah pun menghampiri pikiranku ketika tepat di pintu masuk puskesmas. Kita diarahin security ke lantai dua dan melihat beberapa orang telah ngantri di ruangan terbuka tersebut. Petugas kesehatan yang menggunakan baju APD bewarna putih itu tersenyum dan memberikan dua lembar kertas yang harus diisi setiap pasien.


Saya pun membaca dan mengisi setiap kolom yang berupa pertanyaan dan hubungan kita dengan korban positif. Setelah beberapa menit kertas tersebut saya berikan ke petugas. Dan menunggu giliran untuk tes Swab. Tes Swab atau PCR adalah merupakan proses pengambilan sampel lendir yang diambil dari hidung dan tenggorokan. Berfungsi untuk mencari genetic dari virus. Menurut saya ini hasilnya lebih akurat dibandingkan rapid antigen yang mengunakan darah sebagai sample. Namun hasilnya bisa berupa aktif atau reaktif. Jika hasilnya reaktif, pasien harus tes Swab untuk memastikan apa positif atau negative.


Daripada setengah-setengah mending langsung tes swab aja. Saran saya sih gitu. Oh ya kita kembali ke cerita. tes yang berlangsung sekejap itupun saya rasakan. Awalnya cuttobed panjang itu disodok kelubang hidung sebelah kanan, hingga menuju kesasaran lendir. Di saat kondisi itu Air mata pengen jatuh karena ngilu, setelah dikeluarin dari lubang kanan, langsung petugas mematahakan kapas kecil dan memasukan kedalam cairan bewarna merah dan diberi nama saya . kemudian berlanjut ke lobang hidung satu lagi. Saya hanya bisa menahan walapun ingin lari dari kenyataan. Wkwkwk

Setelah hidung, saya disuruh membuka mulut dan menarik lidah keluar hingga pita suara kita bisa dilihat oleh petugas, kembali dia menyodokkan cutton bed panjang hingga menyentuh tenggorokan saya, sontak saya mual. Dan langsung menutup mulut dan sembari minta maaf ke petugas. "tesnya sudah selasai, kamu boleh kembali" ucap petugas

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Setelah kita berdua selesai tes, petugas pun mengatakan bahwa hasilnya akan keluar 3 hari kemudian. Perasaan makin tak karuan.
Setiap hari kita menuggu hasil dengan rasa was-was. Tepat saja hari rabu tesnya keluar dan alhamdulilah kita semua negative.
Jadi intinya hadapi tes, dan tetap patuhi protocol dan semua akan berjalan baik. Mengenai hujatan terhadap puskesmas dan rumah sakit yang memanipulasi data, harus disikapi dengan kritis lagi, biar jadi rakyat pintar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun