Terdengar suara takbiran dan pukulan gendang selama 24 jam. Di sebuah gang sempit di tepi sungai, yang disebut gang Kopro Banjir daerah Kebayoran lama. Syukurlah kos ku yang ketiga ini, bebas dari banjir . Meskipun nama alamatnya terdapat embel-embel banjir, Hahaha.
 Lebaran di rantau orang, hanya berbaring diatas kasur. Ceritanya semua teman-teman kos yang lain sibuk bikin lontong, masak kue, sama agar-agar. Aku dan temanku hanya lebaran sekadar nya, tak ada yang spesial.
Untung lah pada hari lebaran jadwal kerjaku Off, jadi aku putuskan untuk main ke tempat kerja. Para teman kerja memaksa aku untuk makan lontong buatan mereka. Nasibku sebagai anak kos, kadang jadi perhatian lebih  bagi mereka, termasuk supervisor ku.Â
Setelah makan lontong, aku langsung menemui seorang wanita janda tua bernama Sundara. Ibuk Sundara, begitu aku memanggilnya. Selain sebagai customer, dia juga orang yang care dan menjadikan ku sebagai teman curhat.
Banyak hal yang dialami Ibuk Sundara selama hidupnya. Kehilangan kedua orang tua tercinta, membuat nya hidup sebatang kara dan berputus asa. Hidup dengan pembantu yang tidak disukainya, membuat pikirannya makin jenuh dan tertekan.
Faktor ini kumaklumi karena dia masih memaksakan dirinya  satu atap dengan orang yang tidak nyaman baginya. Â
Akhirnya jam dua  siang kita bertemu di sebuah jalan. Saya memeluk nya dan menyalami tanganya. Kami langsung pesan gocar lewat aplikasi dan menuju kerumah ibuk Sundara.Ternyata butuh waktu 10 menit kita sampai ke rumah Ibuk Sundara.Â
Wajah polos dan sopan yang terukir di wajah pembantu Ibuk memang tidak tulus, saya merasakan nya. "wajar, jika ibuk ngak nyaman dirumah nya sendiri".
Kata sabar dan kuat selalu kuutarakan ke ibuk Sundara, agar dia optimis menjalani hidup ini. Sebuah soto ayam buatan pembantunya dihidangkan untuk saya dan ibuk Sundara. Setelah makan saya mencuci piring kotor makan saya dan bekas ibuk Sundara.Â
Kebiasaan ini sudah diajarkan dikampung ku untuk membersihkan bekas makanan sendiri. Pembantu itu hanya melihat tanpa melarangku, berbeda dengan basa basi dikampungku yang akan bersikeras melarang tamu untuk mencuci.
 Tapi itu adalah kebiasaan kampung ku yang kuat dengan menghargai orang lain.
Setelah mencuci, Â rencana kami kedua pergi kekuburan orang tua ibuk Sundara, yang tidak jauh dari kompleks rumahnya.Â
10 botol air mawar dan satu bungkus plastik kelopak bunga akan kami bawa ke kuburan. Saya pun mengangkat 10 botol dan ibuk Sundara membawa plastik bunga tersebut. Perjalanan 3 km itu kami lalui dengan bercerita tentang pengalaman dan perjuangan ibuk Sundara selama ini.
Tidak terasa beratnya beban hilang, ketika berjalan sambil berdialog. Keadaan fisik dan psikologi ibuk Sundara bagiku tidak sehat. Dia harus menggunakan korset setiap hari untuk menangani saraf terjepitnya. Berjalan perlahan dan berbicara dengan pelan, itulah Ibuk Sundara hari ini.
 Hembusan napas kelelahan, terdengar dari wanita berbaju biru tua itu. Untunglah di pemakaman kami mendapati kursi sebagai alas duduk di samping kuburan.
Ratusan kuburan menyambut kami hari itu. Aku merinding, dan menyadari bahwa suatu hari aku akan berada diposisi itu. Banyak hal berkecamuk dalam pikiran ku saat menatapi tanah gundukan dengan, bunga Kamboja yang berguguran.
 Jalan yang menanjak membuat ibuk Sundara kesusahan, akhirnya aku membimbingnya. "Tidak tega melihat dia seorang diri, selama ini" ucap batinku
Posisi kuburan orang tua ibuk Sundara paling ujung, yang terdapat  pohon kelapa kecil yang bisa melindungi kami dari terik matahari. Kursi pun saya atur. Butuh waktu beberapa menit untuk ibuk Sundara bisa duduk di kursi kecil itu. Aduh, hatiku makin disayat melihat kondisi fisik ibuk Sundara. Akhirnya saya berdiri dan membantu nya duduk.
Helaan napas dan tatapan panjang menatap kuburan, tergambarkan di wajah ibuk Sundara. Â Tetesan air mata mengalir tanpa disadari diwajahnya yang sudah keriput. Hari ini kusadari, bahwa kesepian ditinggal kan orang yang dicintai itu tak ada obatnya selain ikhlas dan tetap melanjutkan hidup.
Keluh kesah ibuk Sundara berputar dalam benakku. Melihatnya semakin tua dan cobaan yang dialami. Jujur membuat ku harus memberikan semangat dan motivasi hidup, agar wanita yang disampingku ini menjadi lebih kuat.
Kubuka semua botol mawar yang bersegel kuning, dan wangi bunga mawar pun keluar dari botol tersebut. Tak ada dialog, saya hanya lebih terfokus kepada sosok ibuk Sundara yang sibuk menuangkan air mawar diatas gundukan tanah almarhum dan almarhumah.
Rumput hias kuburan yang kurang terawat membuatnya kecewa, atas kurangnya pertanggungjawaban si pembersih kuburan. Padahal untuk biaya bulanan telah diberikan ibuk Sundara Setiap bulannya.
Saya ingat ibuk Sundara berwasiat, agar kelak jika ia meninggal, jenazahnya satu kuburan dengan ibunya. Saya selalu menepis ucapan ibuk Sundara itu. Karena masih banyak hal bisa membuatnya bahagia.Â
"Buk, ngak boleh ngomong kayak gitu. Selagi masih ada kesempatan hidup kita harus berjuang, dan kalau bicara yang baik-baik aja" tegas ku jika dia berucap itu lagi.
Setelah itu taburan kelopak bunga pun memberikan kesan bahwa kita masih ingat dan merindukan orang meninggal itu. Dengan hati-hati ibuk Sundara menaburkan kelopak bunga, dan dia juga memberikan kelopak itu agar aku ikut menaburkan diatas kuburan orangtuanya.
 Selama bersama ibuk Sundara aku juga belajar banyak hal, ketulusannya selama ini padaku, yang selalu mengingat kan ku sholat, zikir, dan sampai saat berbuka dan sahur. Bingkisan kue lebaran pun juga diberikan padaku untuk bisa merasakan lebaran di rantau orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H