Tiga pepatah Minangkabau yang wajib diketahui para perantau
Manusia adalah mahkluk hidup yang nomaden. Kebiasaan berpindah tempat dan menetap untuk sementara ini sudah menjadi tradisi ketika zaman nenek moyang dulu. Meskipun dulu nomaden disebabkan oleh faktor alam yang kadang subur atau rusak dihalau bencana. Keputusan nomaden menjadi solusi untuk tetap bisa bertahan hidup dan berkembang biak.Â
Sekarang nomaden masih saja dilakukan oleh siapapun. Termasuk diri saya pribadi, bedanya saya sudah memiliki tempat tinggal dan keluarga yang menetap disatu tempat. Nomaden versi zaman sekarang saya sebut merantau.
Rantau Menurut kamus bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwardarminta  arti kata rantau. Rantau berarti pantai sepanjang teluk, daerah diluar dari negerinya, tempat mencari kehidupan. Kalau merantau lebih tepatnya pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
 Tujuan merantau juga berbeda disetiap orang, bisa jadi mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi. Sehingga pandangan orang yang pernah merantau lebih luas dan tidak seperti "katak dalam tempurung". Mencoba hal baru dengan tantangan baru, tanpa orang tua.
Kebiasaan nenek moyang Minangkabau, mengalir kedarah saya, hingga saya memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Pepatah Minangkabau pun menjadi prinsip saya selama merantau, berikut 3 pepatah yang selalu saya jalani.
Alam Takambang jadi Guru
Bermodal kemauan dan tabungan seadanya, saya dan teman memberanikan diri untuk berjuang di Jakarta. Tanpa ada kenalan ataupun keluarga di Jakarta, yang penting niat dari hati untuk mencari rejeki yang halal.
Banyak hal yang dijadikan panutan dalam hidup ini termasuk alam. Sebagai orang baru saya harus bisa mencari induk semang alias Tuan yang menjadi wali anak rantau. Setiap anak rantau harus cepat beradaptasi dengan orang baru dan suasana baru, cepat tanggap dalam bergaul.
Banyak hal yang tidak kutemukan cara dan gaya hidup orang kota bertahan. Maka disinilah saya belajar untuk bertahan hidup. Rutinitas padat dan kedisiplinan waktu adalah hal yang dijunjung oleh orang kota. Karena pengalaman yang berharga itu adalah guru, yang tak bisa dibayar oleh apapun.
Puasa pertama kali di Jakarta, sangatlah berat, biasanya saya selalu sahur pertama bersama keluarga, dengan sambal rendang wajib buatan orang tua. Sekarang belajar bersyukur dan makan lah secukupnya lebih baik, daripada mubazir.