Mohon tunggu...
Dila AyuArioksa
Dila AyuArioksa Mohon Tunggu... Seniman - Motto Lucidity and Courage

Seni dalam mengetahui, adalah tahu apa yang diabaikan -Rumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Bernoda Hitam Berhati Malaikat

18 Agustus 2019   11:55 Diperbarui: 18 Agustus 2019   20:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: blogpengetahuan.blogsop.com

Selalu seperti ini!!, Butuh dua kali pergantian Mobil untuk sampai ke Sawahlunto. Keberangkatan kami dari Padangpanjang jam 9 pagi sampai ke solok jam 11. 

 Matahari begitu semangat untuk menyinari dunia hari ini. Badanku telah mengalirkan butir keringat dari penjuru tubuhku. Sembari menunggu mobil bus selanjutnya . Saya putuskan dengan teman untuk berhenti di kedai kaki Lima yang tidak terawat. Hanya beratap poster partai dan tanpa dinding kiri kanan.

 Terdapat kursi panjang kayu untuk duduk para pembeli. Ketika duduk di kedai Mata kami tertuju pada Pop Mie. Karena lapar langsung kami pesan. Seorang Lelaki tua berambut putih dan baju yang penuh dengan noda hitam berjalan dibawah terik matahari dan ikutan duduk bersama kami. Wajah Lelaki parubaya tersebut seperti menutupi banyak masalah. 

" Darima nak, ka poi Mano?" Logat Solok bapak tersebut sangat kental.


" Ka poi Sawahlunto Pak" jawab kami berdua yang sedang mengaduk pop mie


" Masih kuliah? Atau lah karajo" menatap kami penasaran


"Kami kuliah di Padangpanjang Pak" jawab temanku dengan cepat
Sedangkan diriku sibuk mengurus Pop Mie

"Makan mie Pak?" Tawaranku kepada bapak
"Makanlah nak" jawab bapak
Ketika kami melahap makan mie, bapak tersebut didatangi oleh seorang pemuda tampan dan menggunakan baju kemeja.


Mereka sibuk berbicara dan pemuda tersebut duduk di samping bapak. Beberapa waktu kemudian pemuda tersebut pamit dan Salam kepada Bapak tersebut. Kulihat Bapak memandang penuh kasih sayang kepada pemuda tersebut dan melambaikan tangan, ketika pemuda tersebut sudah Naik diatas motor dengan temannya.
"Itu anak apak yang terakhir kuliah di Jakarta, kuliah teknik"
Langsung mataku dan teman saling menatap dan mengatakan "wah mantap Pak"
"Anak lah semester berapo?" Tanya bapak kepada kami
"Semester akhir Pak, rencana wisuda tahun kini Pak"
"Oo, berarti wisuda samo jo anak apak yang di Bandung tuh, jurusan hukum".

"Berapo anak apak yg kuliah?" Tanya temanku
Sebelum dia menjawab pertannyaan temanku, Lelaki parubaya tersebut, mengatur posisi duduk dihadapan kami, sepertinya dia sangat suka bercerita


"Jadi, anak apak sabanyak 3 orang kuliah di Pulau Jawa. Kasadonyo kuliah swasta"  jawab bapak
Saya pun menghentikan melahap mie dan ingin tahu berapa biaya kuliah semester anaknya " terus berapo bayar uang kuliahnya Pak?" Dengan nada yang rendah

Lelaki parubaya tersebut terdiam dan menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap semester


"Anak apak yang pertamo kuliah di Bandung 7 juta semester, yang di jakarta 8 juta terus anak apak yang di Pasundan 10 juta, Dua orang kuliah teknik dan satu lagi hukum" dengan nada suara yang masih semangat

Saya dan teman kaget mendengar biaya yang harus dikeluarkan dan dicari bapak tiap tahunnya." Masha Allah Pak, Mahal juga ya Pak" kami salut melihat bapak yang tidak mengeluh.

Mendengar cerita bapak tersebut Saya dan teman bersyukur bisa kuliah  negri dan berkesempatan mendapat beasiswa bidikmisi. Beasiswa tersebut sangat berjasa selama Saya kuliah dan mengurangi beban orang tua di kampung.

"Dalam minggu iko Bapak harus mencarikan piti 12 juta untuk ujian akhir  anak apak yang di Jakarta" wajah murungpun yang tidak bisa disembunyikan  muncul di wajah bapak tua itu.
Dilihat dari fisik sepertinya Lelaki tersebut masih berumur 45 tahunan. Namun mendengarkan cerita dan perjuangan yang dia ceritakan, bapak tersebut terlihat tua dari umurnya.


Wajah murung tersebut ditepis bapak ketika dia membuka hp dan mencari poto anaknya yang semua kuliah di Jawa
'koh nak, anak apak yang padusi kuliah di Jakarta" bapak pun tersenyum
Dia menyodorkan hpnya kepada kami


Tanpa sungkan Saya mengambil hpnya" wah cantik ya anak bapak" kami pun tersenyum
Didalam photo kami melihat photo perempuan yang sedang berbahagia hidup di Kota dengan style anak zaman sekarang, yang hidup tanpa kekurangan. Tidak sengaja Saya juga kepo dengan beranda Facebook anak bapak, yang penuh dengan photo selfie makan di sebuah cafe dan liburan di berbagai Wisata  di Jawa.


Saya dan teman saya kode-kodean dengan menatap satu sama lain, melihat kehidupan yang bertolak belakang dialami oleh bapak di kampung dan Si buah hati di Kota.

Kemudian bapak mengambil hpnya kembali dan mencari poto anak selanjutnya yang kuliah di hukum yang sudah bekerja di sebuah intansi.
"Iko anak apak yang partamo yang lah dapek karajo di Jakarta"
'rancak tuh  Pak, lah karajo, jadi bisa bantu bapak biaya kuliah adeknya"

Bapak tersebut mengelengkan kepalanya
"Kalau biaya kuliah adeknya itu masih bapak yang mencari alhamdulilah bapak masih kuat dan bercekupan disiko"

"Tapi, Pak dia kan udah kerja, otomatis anak apak lah punyo gaji tetap di sinan, apolai gajin di Jakarta pasti tinggi tuh Pak"

"Sampai kini apak ndak tahu barapo gaji anak apak tuh?. Bagi apak udah bisa dia hidup memenuhi kebutuhan nyo apak lah bahagia" wajah senyum sendu muncul di raut Lelaki tua tersebut

Mendengar kekuatan yang dari diri bapak kami pun tidak bisa menjelaskan terlalu panjang, atas kurangnya perhatian anak kepada orang tuanya .

Tidak sengaja Saya menanyakan pekerjaan bapak, mengingat biaya kuliah anak yang terlalu Mahal.
"Bapak kerja Apo?" .


"Bapak hanya karajo di bengke tuh nak" dia menunjuk sebuah bengkel tua yang jaraknya tidak jauh dari kedai


Wajar saja pakaian Bapak penuh dengan bercak oli dan tangan serta kaki bapak juga Ada hitam-hitamnya.

"Kalau mangualiahan anak tuh, lah di kapalo kaki kini koh nak" maksudnya  tidak peduli dengan dirinya, asalkan anaknya bahagia.
Bapak melanjutkan ceritanya, " bapak selalu memberikan pengertian kepada anak bapak, tentang usaha yang apak lakukan untuak anak-anak apak, agar mereka bisa paham dengan keadaan urang tuanyo di Kampuang, supayo inyo indak sombong di Kampuang urang nak"


 Cerita panjang penuh arti tersebut tidak terasa satu jam telah berlalu, mobil bus kami pun datang. Kami pun pamit dan bapak juga mendoakan kami agar sukses. 

Pesan kami untuk bapak  " jaga kesehatan selalu pak dan semoga anak bapak sukses juga"


Kami berdua bergegas naik Mobil dan melambaikan tangan kepada bapak yang tidak kami ketahui namanya.

Terjemahan: 

Apak = Bapak

Disiko= disini

Sinan = disitu

Rancak = bagus

Pertamo= pertama

Buliah = boleh

Iyo = iya

Karajo = kerja

Supayo= supaya

Kampuang = kampung

Urang = orang

Tuo = tua

Mangualiahan = menguliahkan

Kapalo= kepala

Namo = nama
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun