Mohon tunggu...
Diky Faqih Maulana
Diky Faqih Maulana Mohon Tunggu... Dosen - PositiveThinker

Check My Blog

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Implementasi Sertifikasi Halal Pasca UU JPH 2014 di Tahun 2022

21 Agustus 2022   11:06 Diperbarui: 21 Agustus 2022   11:07 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengutip berita dari https://www.kominfo.go.id, dijelaskan bahwa Pemerintah Harus Bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 September 2014, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) telah disahkan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014. 

Hal tersebut telah dibuktikan secara nyata bahwa telah terbentuk BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dibawah Kementerian Agama RI. Singkatnya semua Jaminan Produk Halal, dari Pengajuannya, Regulatornya, Pengawasannya akan ditangani langsung oleh BPJPH. Hal ini tentunya bukan suatu hal yang mudah, mengingat sudah bertahun-tahun Jaminan Produk Halal dipegang penuh oleh LPPOM MUI (dari segala aspeknya), dan tiba-tiba terjadi Peralihan.

Peralihan ini mulai dieksekusi sejak adanya BPJPH namun bisa terbilang siap sekitar tahun 2020-2021, pasca UU Cipta Kerja, yang mana semua Pelaku Usaha diwajibkan untuk memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha). Ketika Pelaku Usaha telah miliki NIB (disarankan yang telah RBA, bisa diakses pada OSS milik Kementerian Investasi/BKPM), maka data Pelaku Usaha tersebut secara otomatis akan terhubung ke beberapa sistem Kementerian lain termasuk SiHalalnya BPJPH. Darisitulah pengajuan Sertifikat Halal para pelaku usaha diharuskan untuk masuk  satu pintu melalui ptsp.halal.go.id (SiHalal yang dibuat BPJPH).

Pada tahun 2021, peralihan untuk mengurus sertifikat halal dari LPPOM MUI ke BPJPH cukup membingungkan para Pelaku Usaha, selain tidak adanya informasi yang jelas, juga adanya pembagian kategori pengajuan (ada Self Declare dan Reguler). Sebenarnya ini peluang para Pelaku Usaha, namun lagi-lagi karena informasinya simpang siur, tumpang tindih, dan dianggap suatu hal yang baru maka menjadi polemik tersendiri di masyarakat, apalagi pasca dikeluarkannya logo Halal Indonesia yang dianggap oleh beberapa orang hanya merepresentasikan suku tertentu.

Suatu hal yang baru bukan berarti tabu, namun masyarakat khsusunya Pelaku Usaha memang harus aktif untuk mencari kebenaran mengenai Bagaimana Pengajuan Sertfikasi Halal ke BPJPH. Yaa memang dianggap agak ribet oleh beberapa orang mengingat ketika melalui LPPOM MUI semuanya bisa dituntaskan. Mengapa? Lagi-lagi Pemerintah sebenarnya mengeluarkan anggaran yang tak cuma-cuma, karena di tahun 2021-2022 sudah dijalankan SEHATI (Sertifikat Halal Gratis) yang dibiayai oleh berbagai instansi melalui BPJPH, Self Declare nama Jalurnya. Namun, masyarakat masih banyak yang belum yakin dan belum tahu.

Self Declare merupakan Jalur pengajuan sertifikat halal gratis ke BPJPH dengan syarat produk yang diajukan termasuk kategori Lowrist (bahan yang rendah resiko dan positif list), bisa dilihat pada Kepkaban 33 tahun 2022, apa saja jenis produk yang masuk. Lalu banyak komponen yang baru dalam pengajuan self declare ini, mulai dari adanya (1) Pendamping PPH (seseorang yang telah dilatih oleh Trainer dari Lembaga Pendamping PPH dan lulus sehingga memiliki akun di SiHalal, memliki tugas untuk mendampingi Pelaku Usaha dalam pengajuan Sertfikat Halal Self Declare), (2) Lembaga Pendamping PPH (Lembaga yang menaungi para pendamping PPH, bisa dari Perguruan Tinggi, Yayasan atau Ormas yang telah diberi ToT sebagai Trainer yang handal dan terampil), (3) Penyelia Halal (dalam hal ini masih boleh menggunakan orang yang sama dengan ownernya, karena diasumsikan sebagai orang yang paham betul bagaimana proses produksi itu dijalankan), (4) BPJPH (administrasi, regulator, verifikator akhir sebelum dikirim ke komisi Fatwa untuk disidangkan, sebagai Eksekutor menerbitkan Sertifikat Halal), (5) Komisi Fatwa MUI (sebagai eksekutor untuk sidang fatwa dan mengeluarkan Ketetapan Halal). Ini Self Declare, lalu bagaimana dengan Jalur Reguler?

Jalur Reguler prinsipnya sama persis yang dijalankan LPPOM MUI selama bertahun-tahun ini, bedanya dahulu LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) terpopuler saat pengajuan adalah LPPPOM MUI itu sendiri, untuk saat ini bersifat opsional. Artinya akan ada ketersebaran LPH yang didalamnya terdapat para Auditor Halal. Reguler memang dikhususkan bagi Pelaku Usaha yang produknya Highrist (Kategori Resiko Tiggi, sehingga perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut). Jika mengutip dari https://kemenag.go.id/, ada 8 LPH baru yang siap melayani pengajuan Reguler: 1. LPH Hidayatullah, di Provinsi DKI Jakarta, 2. LPH Yayasan Pembina Masjid Salman ITB, di Provinsi Jawa Barat, 3. LPH Balai Pengembangan Produk dan Standardisasi Industri Pekanbaru, di Provinsi Riau, 4. LPH Universitas Brawijaya, di Provinsi Jawa Timur, 5. LPH Universitas Hasanuddin, di Provinsi Sulawesi Selatan, 6. LPH Bersama Halal Madani, di Provinsi Sumatera Barat, 7. LPH Balai Sertifikasi Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan, di Provinsi DKI Jakarta, 8. LPH Kajian Halalan Thayyiban Muhammadiyah, di Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, akan menyusul berbagai Lembaga atau Perguruan Tinggi lain yang sedang mempersiapkan diri untuk akreditasi dan integrasi sistem pada BPJPH.

Jika melihat data yang ada, pengajuan Sertfikasi Halal Self Declare saat ini sangat membludak, karena semakin banyak Pelatihan Pendamping PPH oleh Lembaga Pendamping, secara tidak langsung sekaligus sosialisasi secara masif mengenai Pengajuan Sertifikat Halal Gratis melalui Jalur Self Declare bagi Pelaku Usaha yang memliki Produk lowrist. Pengajuan sudah mulai dipahami, dipraktikkan, dijalankan dengan berbagai evaluasi, tentunya berkat kerja sama berbagai komponen dan stakeholder. Lalu yang masih menjadi PR yakni, Bagaiaman dengan Pengawasannya? apakah sudah sesuai dengan Regulasi yang ada? apakah masyarakat umum juga memiliki partisipasi penuh dalam hal ini, atau sebalikanya? dalam konteks jaminan produk halal, tidak ada ruang bagi masyarakat umum untuk ikut serta dalam menangani. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun