Masih teringat saat terjadi pemboman gereja di Makassar pada 28 Maret 2021. Perdamaian yang terjadi di Makassar goncang dalam seharian, dimana pelaku sendiri menjadi korban paling utama.Â
Berbagai organisasi di Makassar berkumpul untuk menyelesaikan isu ini.Â
Saya berada dalam perkumpulan organisasi penggiat perdamaian yang sangat peduli pada isu ini. Makassar dikenal dengan kata "kasar," stigma yang melekat, baik pada pergerakan dan pemudanya.
Dalam konteks yang lebih kekinian, kita mendengar kasus lagi, mahasiswa di salah satu universitas meninggal karena pengkaderan.Â
Selain itu, isu kekerasan seksual memuncak juga, lagi, dari salah satu universitas ternama di kota ini. 2021 dan 2022 menjadi tantangan bagi kota ini. Mengapa isu kekerasan ada dimana-mana?
Tidak perlu berdebat pada isu pemboman gereja dan kematian pada ospek, kekerasan seksual pun memiliki kekasaran mental yang menjadi traumatik bagi korban.Â
Makassar, yang terkenal sangat sopan pada perempuan dan seringkali perempuan diibaratkan sebagai "pecah beling" yang harus dijaga, inikah riwayatmu kini?Â
Berbagai organisasi perempuan mengawal kasus ini. Setelah berbagai pertimbangan, pelaku kekerasan seksual diberhentikan, namun hanya dalam kurun waktu tertentu. Inikah hukuman yang kita inginkan? Nampaknya, banyak sekali "kekasaran" yang terjadi di Makassar.Â
Begitu pula dengan maraknya isu begal di kota ini. Mengapa? Terdapat kekerasan di berbagai aspek. Kekerasan struktural terhadap minoritas, terhadap mahasiswa, terhadap perempuan. Apa benar Makassar adalah Kota yang "Kasar?"
Tentunya tidak, dan kita perlu mendekonstruksi kata "Kasar" dari kota ini.Â
Kita memerlukan kiat-kiat baru, untuk meniadakan "kekasaran" yang ada ini, baik dengan memberikan ruang bagi diskusi serta dialog, serta memberikan alternatif baru pada "kekasaran" ini agar menjadi "kelembutan." Mendukung penuh perdamaian dan keadilan agar bisa tercipta, demi Indonesia yang tentunya bisa menjadi tempat untuk semua perbedaan.Â