Mohon tunggu...
Diksi_Istimewa
Diksi_Istimewa Mohon Tunggu... Tutor - A Learning

Keep Fighting

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Harga Beras Mahal, Siapa yang Diuntungkan?

1 Oktober 2024   15:17 Diperbarui: 1 Oktober 2024   15:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahalnya harga beras masih menjadi persoalan yang serius di negeri ini. Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal daripada harga beras di pasar global. Bahkan saat ini harga beras dalam negeri konsisten tertinggi di kawasan ASEAN. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk, menilai tingginya harga beras ini terjadi karena beberapa faktor, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor, kenaikan biaya produksi, hingga pengetatan tata niaga melaluo non tarif. 

Tetapi di sisi lain, mahalnya harga beras tidak sebanding dengan pendapatan petani. Dari hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dollar AS atau Rp 15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai 341 dollar AS atau Rp 5,2 juta. Selain itu, Bank Dunia juga mencatat bahwa saat ini hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat. Karena mereka sulit membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan dan sayuran. (kompas.com, 24/09/2024)

Sungguh miris, negeri yang terkenal dengan semboyan gemah ripah loh jinawi karena kesuburan tanahnya, nyatanya rakyatnya masih banyak yang kesulitan mendapatkan makanan bergizi dan sehat. Harga beras tinggi karena biaya produksi tinggi di Negeri Ini memang disebabkan banyak faktor. Tetapi faktor yang paling mempengaruhi adalah sektor pertanian di negeri ini sudah dikuasai oleh oligarki dari hulu hingga hilir. 

Sementara negara tidak memberikan bantuan kepada petani. Petani dipaksa mandiri, terlebih petani yang sedikit modal. Selain itu, negara yang sedang melakukan pembatasan impor beras menyebabkan ketersediaan jumlah beras jauh lebih sedikit. Alhasil harga beras dalam negeri menjadi mahal, bahkan lebih mahal dari beras impor. Situasi ini mendorong dibukanya keran impor beras semakin besar dari sebelumnya. Jika hal tersebut terjadi sementara harga beras lokal dalam keadaan mahal tentu kebijakan pembukaan impor ini akan semakin menguntungkan oligarki dan semakin menyengsarakan petani.

Apalagi saat ini, retail-ritel yang menguasai bisnis beras dapat memainkan harga beras di pasaran. Semua kebijakan terkait pertanian yang condong pada kepentingan para pemilik modal tanpa memperdulikan nasib petani sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah memposisikan negara sebagai regulator dan fasilitator saja. Bukan sebagai pengurus urusan rakyat sebagaimana mestinya. 

Negeri yang memiliki lahan pertanian yang luas seharusnya mampu menjamin ketersediaan kebutuhan pokok seperti beras. Tanpa harus bergantung pada impor yang seringkali merugikan petani dan menyengsarakan rakyat. Namun kenyataannya, negara yang berparadigma kapitalisme abai akan hal ini. Tidak ada langkah strategis yang ditempuh untuk menunjang optimalisasi produksi beras dalam negeri. 

Oleh karena itu harus dipahami bahwa persoalan utama mahalnya harga beras di negeri ini adalah pengelolaan pangan yang disandarkan pada sistem kapitalisme. Sistem ini memberikan keleluasaan pada pihak swasta untuk menguasai sektor pertanian demi mendapatkan keuntungan. Serta meniscayakan hilangnya fungsi negara sebagai ra'in (pengurus) yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat dan petani. 

Berbeda dengan pengelolaan kebutuhan pokok di bawah pengaturan Islam. Beras sebagai kebutuhan pokok, salah satu komoditas strategis yang wajib dikelola oleh negara. Politik Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat individu per individu. Pemenuhan kebutuhan pokok oleh negara adalah upaya mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu negara akan melakukan pengelolaan pangan secara mandiri hingga harga pangan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ketersediaan pangan sangat terkait dengan kebijakan masalah pertanahan dan ketersediaan infrastruktur. Dalam sistem ekonomi Islam, tanah tidak boleh dibiarkan menganggur. Sehingga jika ada tanah mati (terbengkalai) dan dihidupkan oleh seseorang, maka tanah tersebut akan menjadi miliknya. Di sisi lain, jika seseorang memiliki lahan kosong dan tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut, maka lahan itu bisa dimiliki oleh pihak lain yang mampu mengelolanya. 

Dengan demikian, akan terjadi ekstensifikasi lahan pertanian yang memudahkan seseorang mendapatkan lahan pertanian. Hal ini akan meningkatkan produksi pangan, termasuk beras. Adapun upaya meningkatkan hasil produksi beras lainnya adalah melalui intensifikasi. Negara menyerahkan kepada masyarakat untuk mengadopsi teknologi pangan dari manapun yang mampu memberikan hasil produksi yang lebih baik dari sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun