Tulisan ini akan saya buka dengan pernyataan, bahwa niat saya mengulas buku terbaru karangan Prabowo Subianto adalah memberikan tanggapan kebangsaan dari buku yang ditulis oleh salah satu orang paling berpengaruh di Indonesia. Tanggapan kebangsaan saya kiranya menjadi lebih netral, karena yang dibayangkan saat saya menulis artikel ini adalah sebuah ruang kelas yang besar, dimana di depan saya ada ratusan anak generasi Z yang sedang mendengarkan paparan saya. Generasi Z yang sebagian mereka kaya raya dalam gagasan internasional, namun perlu disadari juga jika mereka perlu diberikan subsidi literatur nasional yang kekinian, ‘zaman now’. Perlu rasanya mereka, kids zaman now, mendapat referensi kekinian perihal kebangsaan.Â
Buku dengan judul Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, seperti membawa saya berkeliling masuk ke suatu masa dan alam pikiran jenderal bintang tiga yang sudah tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia. Gaya militer yang sering kali diumpamakan dengan serba keras, ‘main perintah’, mendikte anak buah, dipatahkan dalam gaya penulisan dan sudut pandang tulisan yang ditawarkan sang penulis yaitu, Prabowo Subianto. Gaya penulisan yang sederhana, lugas, dan saya rasa dapat dibaca oleh semua kalangan, latar belakang pendidikan, sosial, agama, budaya, dan lintas generasi. Beliau dengan hati dan lapang dada hendak berbagi cerita kepada para pembaca melalui refleksi-refleksi intelektual dan batinnya, sekaligus bersaksi pada saat bertemu dengan para tokoh besar Republik Indonesia dan bahkan dunia. Pertemuan-pertemuan, peristiwa-peristiwa yang dialami penulis sebagai bahan dasar cerita adalah kisah-kisah pilihan yang sangat sakral dan personal. Bukan perkara mudah memilah dan memilih kisah atau pengalaman yang akan dihadirkan kepada pembaca, mengingat sosok sebesar Prabowo Subianto memiliki pengalaman yang beraneka ragam, krusial, dan berarti dalam kemajuan bangsa dan negara.
Selain itu, Prabowo Subianto adalah salah satu tokoh penting dalam perjalanan militer Indonesia yang menyimpan rahasia negara dan saya yakin masih ada yang tidak diutarakan dalam bukunya, karena hanya akan disimpan olehnya sampai akhir hayat. Bukan karena beliau tidak mau berbagi, tetapi itu adalah bagian dari profesionalitas dan pengabdiannya pada negara. Seorang militer disumpah untuk tidak mengkhianati negara, apapun resikonya. Buku yang terurai dalam empat belas bab, belum termasuk bagian pembuka dan penutup, seolah-olah pembaca diajak berkenalan secara pribadi dengan salah satu putra doktor ekonomi pertama di Indonesia. Lalu, bercakap-cakap sambil melihat sisi lain yang kehidupan pribadi Prabowo Subianto yang belum pernah diekspos di media sosial.Â
 Pemimpin yang Memiliki Semangat Kepahlawanan
Pada bagian-bagian awal buku dikisahkan empat tokoh pejuang yang sangat mempengaruhi Prabowo Subianto, yaitu Jenderal Soedirman, I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Mongosidi, dan Yosaphat Sudarso. Dari keempat tokoh tersebut dan peletakan penulisan yang ada di awal buku yang ditulis oleh Prabowo Subianto, menjadi penanda bahwa darah kepahlawanan yang nasionalis dan patriotik mengalir deras dalam diri penulis. Baginya kecintaan pada tanah air semacam syarat wajib jika ingin berkenalan lebih jauh dengan dirinya.
Rasa cinta kepada tanah air pun dikualifikasi dengan sangat ketat oleh penulis. Bukan cinta buta atau cinta monyet kepada tanah air. Mereka yang memiliki cinta seperti itu akan mudah sakit hati pada saat cintanya bertepuk sebelah tangan. Apalagi rasa untuk mudah jatuh cinta yang terkadang satu paket dengan rasa mudah melupakan. Rasa cinta yang direfleksikan oleh penulis melalui keempat tokoh pejuang besar Republik Indonesia yaitu kemuliaan dari cinta pada nusa dan bangsa. Kemuliaan dari rasa cinta pada nusa dan bangsa terletak pada dengan totalitas, tanpa meminta balas, dan menuntut kehormatan dari yang dicintainya. Dari rasa cinta yang teramat besar akan muncul jiwa kepahlawanan sebagai muara dari dari cinta kepada tanah air.
Semangat kepahlawan di Indonesia pada masa pandemik merupakan semangat yang paling diperlukan demi membangun ketahanan dan kekuatan di lapisan masyarakat. Rendahnya implementasi nilai kepahlawanan seperti rela berkorban, menekan ego pribadi demi kepentingan umum, menjadi stimulan bertambahnya angka penyebaran Covid 19 di Indonesia. Indonesia mengalami penurunan kualitas solidaritas sosial, sehingga lambat laun dapat mengancam karakteristik bangsa Indonesia sebagai bangsa Pancasilais.
Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah suatu sikap dan tindakan pemimpin prajurit sejati. Dari situ lahir tradisi TNI yang tidak kenal menyerah, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok dan yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa. Kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. (hlm. 9)
Sikap dan tindakan Robert Wolter Mongosidi telah memberikan kepada generasi bangsa Indonesia berikutnya suatu warisan nilai-nilai kepemimpinan penuh keteladanan dan kepahlawanan, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa, yang menjadi landasan harga diri dan kebanggaan untuk gerenasi-generasi pemimpin bangsa berikutnya. (hlm. 15)