Dalam hal ini, kelompok etnik Ba- tak Toba melakukan hal apa saja dan ber- usaha keras dalam menyekolahkan anak- nya agar si anak mempunyai pemikiran yang maju dan mampu mencapai kemak- muran ataupun kekuasaan yang ingin mereka dapatkan dari konsep kebudayaan mereka.
Budaya Batak Toba memiliki peran dalam dunia pendidikan, bahkan sudah terjadi sejak anak tersebut terlahir. Ter- jadi persaingan antar marga (clan) dalam mewujudkan cita-cita keturunan mereka
merupakan bagian kesadaran dari ke- luarga tersebut sebagai fondasi perkem- bangan pribadi. Pendidikan sudah diberi- kan orang tua kepada anaknya sejak lahir  dengan "meniru" orang tua mereka. Kata "meniru" ini diasumsikan secara luas karena melibatkan nilai-nilai agama, mo- ral, sosial, pengetahuan, dan keteram- pilan. Umumnya, anak laki-laki akan meniru ayah mereka yang cenderung aktif di luar rumah, sedangkan anak pe- rempuan akan meniru ibunya dalam membantu pekerjaan rumah tangga, berladang, ataupun membantu berjualan di pasar (Aritonang, 1944: 45-48)
Penelitian Lubis et al. (2019: 209) menyatakan bahwa prinsip kehidupan 3H (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon) juga berpartisipasi dalam membentuk pendidikan karakter generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan mereka da- lam mencapai tujuan hidup yang efektif dan efisien. Pendidikan karakter yang ter- bentuk dari prinsip tersebut yaitu sopan, disiplin, jujur, mandiri, dan setia (Purba et al., 2017: 220). Memberikan anak mereka pendidikan yang lebih tinggi hingga kemampuan keterampilan hidup yang berguna untuk meningkatkan ke- hidupan generasi anak-anaknya. Orang tua akan berusaha mendidik anak-anak mereka menjadi orang yang dapat me- ningkatkan martabat keluarganya.Â
 Filosofi Budaya Batak Toba
Menurut pandangan kelompok et- nik Batak Toba, kebudayaan merupakan sebuah sistem nilai budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan dan pan- dangan hidup mereka secara turun temu- run, hal ini disebut dengan istilah filosofi. Filosofi bagi seseorang atau kelompok masyarakat berfungsi menjadi alat atau cara sebuah tindakan yang mendasari kehidupan sehari-harinya. Oleh karena- nya, filosofi hidup kelompok etnik Batak Toba dapat dikatakan tertuju pada daya dan upaya mencapai kepemilikan sahala. Sahala sebagai konsep falsafah kelompok etnik Batak Toba sangat besar pengaruh- nya dalam segala gerak hidup mereka. Menurut Pelly (2016: 72), sahala adalah berhubungan dengan adat dan kehidupan sehari-hari. Karena itu awalnya saudara semarga tersebut tinggal dalam satu kampung atau huta, agar mereka secara gotong royong melakukan kegiatan se- hari-hari. Jika timbul suatu pertentangan, maka pihak dongan sabutuha wajib untuk menanganinya dan setiap orang yang se- marga tidak boleh saling kawin diantara mereka. Dongan sabutuha terkadang juga disebut dengan dongan tubu; Boru adalah anak perempuan, yang termasuk golong- an boru adalah suami dari anak perem- puan serta anak-anaknya, orang tua suaminya dan dongan sabutuha sua- minya. Meskipun dalam adat pihak boru tidak ikut menjadi pihak pewaris, namun penghormatan bagi pihak boru meru- pakan hal yang tertinggi. Biasanya sete- lah pernikahan, pihak boru akan diha- diahi sebidang tanah, hal ini disebut dengan istilah pauseang dengan mem- berikan ulos nasoolo atau sejenis kain yang tidak dapat usang. Dan dalam acara pernikahan, pihak boru-lah yang dibe- rikan tanggung jawab dan hak dalam menentukan penyampaian bagian atau jambar dalam berbicara dan dalam pembagian bagian tubuh hewan sembe- lihan menurut fungsi, peran, dan kedudu- kannya dalam Dalihan Na Tolu. Hula- hula, adalah pihak yang memberikan pengantin perempuan. Semua dongan sabutuha orang tua (baik ibu dan ayah) pengantin perempuan, yaitu tulang atau paman dari saudara ibunya. Perkawinan dengan putri tulang adalah perkawinan ideal menurut orang Batak Toba. Per- kawinan seperti ini disebut dengan istilah kawin pariban. Pihak hula-hula adalah pihak yang sangat dihormati pihak boru dalam sistem kekerabatan, namun sebagai gantinya pihak hula-hula akan membe- rikan perlindungan terhadap pihak boru seperti jika seorang wanita tidak dapat dinafkahi atau diceraikan oleh pihak dongan sabutuha, maka pihak hula-hula memiliki  kewajiban  untuk  melindungi pihak boru. Pihak dongan sabutuha dan pihak boru juga harus secara aktif meng- atasi persoalan tersebut.
Kedua adalah religi, yang mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradi- sional maupun agama-agama baru yang mengatur hubungan dengan Sang Maha Pencipta serta hubungannya dengan sesa- ma manusia dan lingkungan dimana ma- nusia itu berada. Ketiga yaitu hagabeon, yang berarti memiliki banyak anak dan berumur panjang. Bagi orang Batak, sum- ber daya manusia sangat penting karena kekuatan suku bangsa dapat dibangun dengan adanya jumlah populasi yang besar pada suku tersebut. Tampaknya hal ini terkait dengan sejarah suku bangsa Batak yang memiliki budaya kompetitif yang tinggi, yang tercermin dari perang huta atau kampung. Keempat, yaitu hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma) yang merupakan nilai utama yang mendorong masyarakat sub etnis Batak Toba untuk gigih mencapai kejayaan. Terlebih lagi pada zaman modern ini, jabatan dan pangkat yang tinggi menjadi simbol kemuliaan, kewi- bawaan, kharisma, dan kekuasaan pada orang Batak Toba. Nilai budaya yang kelima, yaitu hamoraon atau kaya raya, merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang sub etnis Batak Toba untuk mencari harta dalam bentuk benda materil yang banyak Keenam, hamajuon atau kemajuan, yang dapat dicapai dengan meninggalkan kam- pung halaman dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Nilai budaya hama- juon ini sangat kuat mendorong orang Batak merantau (marserak) dan pergi ke berbagai daerah di tanah air dan seluruh dunia, dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan semangat berkom- petisi demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi bagi dirinya dan anak- anaknya. Ketujuh, patik dohot uhum atau aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum ini merupakan nilai yang kuat yang disosialisasikan oleh orang Batak untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan menjalani kehidupan menurut hukum yang berlaku. Kedelapan, pengayoman. Nilai ini mencerminkan kehadiran pengayom, pelindung, ataupun pembawa kesejahteraan, yang setidaknya kehadi- rannya diperlukan dalam situasi yang sangat mendesak. Meski sesungguhnya karakter kemandirian cukup tinggi dite- kankan pada orang Batak sehingga nilai pengayom tersebut tidak terlalu menon- jol. Nilai kesembilan adalah marsisarian, atau usaha orang Batak untuk tetap saling mengerti, saling menghargai, dan saling membantu. Bila terjadi konflik atau perseteruan dalam kehidupan berma- syarakat, maka prinsip marsisarian perlu dikedepankan (Simanjuntak dalam Valentina & Martani, 2018: 2-3).
Nilai-Nilai Didikan Leluhur (Filosofi Budaya) Etnik Batak Toba Membentuk Pola Pikir Kelompok Etnik Batak Toba terhadap Dunia Pendidikan
Dalam kelompok etnik Batak Toba, anak adalah warisan mutiara yang paling berharga di dunia ini. Anak mempunyai hikmad pada diri setiap orang tua dan tercetus pada sikap dan perilakunya. Segala sesuatu yang dilakukan orang tua ditujukan untuk masa depan ketu- runannya. Etnik Batak memuliakan sang pencipta, menghargai sesama manusia, menghargai waktu, belajar dan menuntut ilmu ditujukan agar keturunannya mem- punyai masa depan yang baik dan meng- alami kehidupan yang baik. Kelompok etnik Batak memandang anak memiliki nilai-nilai magis spritual, sosial dan eko- nomi yang terintegrasi dalam falsafah hidup mereka, dimana kelompok etnik Batak Toba memandang anakonki do na ummarga di au, anakonki do hamoraon di au. Artinya, anak adalah harta yang tertinggi, anak adalah segalanya bagi suku  Batak.  Sehingga  segala  sesuatu ntuk pertumbuhan anak, pendidikan anak, tingkah laku anak adalah perhatian utama (Revida, 2006: 217).
Membentuk pemikiran yang mem- bangun dan maju pada anak bagi ke- banyakan orang tua etnik Batak Toba, adalah cara utama membuat anak tersebut untuk dapat hidup lebih baik daripada dirinya sendiri sebagai orang tua. Dimana orang tua menanamkan nilai kepada si- anak bahwa pendidikan sangat penting guna mencapai kemakmuran dalam hidup. Dengan adanya pengetahuan dan pengalaman, maka segala keinginan da- pat tercapai. Seringkali orang tua dimo- tivasi oleh keinginan bahwa kehidupan anak-anaknya akan lebih baik daripada kehidupan yang dijalani orang tuanya. Nilai-nilai ditransmisikan, diakui-sisi, dan diinternalisasikan ketika indi-vidu beradaptasi dengan adat istiadat, praktik, norma, dan kebiasaan yang dihadapi sehari-hari melalui pemodelan, penguat- an, dan pengajaran secara verbal dan eksplisit. Orang tua atau orang-orang yang mewariskan nilai tersebut, secara sadar dan tidak sadar berusaha mena- namkan nilai-nilai yang mendorong kelangsungan hidup kelompok dan ke- makmuran (Brighouse dan Swift dalam Valentina & Martani, 2018: 4).