Tulisan agak panjang karena memang untuk menelanjangi. Ini opini, bukan berita. Jadi sah-sah saja menggunakan analisa subjektif-personal yang penting sesuai fakta. Bacalah sampai selesai. Jika tulisan seperti ini saja tidak kalian selesaikan, bagaimana caranya mendapatkan kebenaran?
Secara pribadi saya tak merasa tertarik untuk mengulas apa yang ditulis oleh LENSAnews yang –bagi masyarakat awam seperti saya dengan pengetahuan jurnalistik yang minim– lebih layak disebut sebagai “tulisan sampah” yang cacat secara aturan jurnalistik, bahkan terlalu rendah kelasnya untuk dikatakan sebuah berita. Lebih menonjolkan sebagai tulisan dengan kesesatan berpikir yang mengarah pada provokasi untuk menciptakan kesan psikologis yang buruk terhadap sosok tertentu. Bisa baca tulisannya disini.
Menjadi menarik ketika LENSAnews bersembunyi di balik kata “jurnalistik dan berita” untuk menyembunyikan kekerdilan dan kepicikan yang tersembunyi dalam pilihan-pilihan diksinya. Saya teringat pada sebuah diktum yang disampaikan oleh karib saya, bahwa dalam konteks demokrasi, jurnalisme hanya memiliki dua pilihan: menjadi pahlawan demokrasi atau pelacur demokrasi. Sepertinya, LENSAnews lebih memilih yang kedua!.
Baiklah, mari kita telanjangi satu persatu sesat pikir tulisan itu:
Pertama, ketika ada diksi satu-satunya yang tidak berpengalaman dalam mengelola pemerintahan, secara otomatis LENSAnews telah menihilkan kemampuan satu orang untuk meninggikan yang lain. Ada perilaku haram dalam rumus jurnalistik yang dilakukan oleh LENSAnews, yaitu keberpihakan. Bukan pada kebenaran, tapi pada subjektivitas yang didahulukan, atau mungkin saja memang disesuaikan dengan "pesanan".
Kedua, soal kesiapan Suprianti Rambat menjual 100 unit rumah untuk biaya bertarung di Pilkada Kotim. Tidak diketahui darimana sumber informasinya, hasil wawancara atau penelitian data, siapa yang mengatakan, kapan dan dimana kalimat itu diucapkan, tiba-tiba saja muncul angka dan data aneh, yang mungkin Suprianti Rambat pun tidak merasa pernah menyampaikan itu.
Maka, mudah saja kita sebagai orang awam untuk mengatakan informasi itu bodong dan bohong karena tidak terverifikasi kebenarannya menurut standar paling minimal yang ada di otak kita, termasuk juga ukuran minimal standar sebuah berita dengan 5W + 1 H.
Ketiga, lembaga Institute of Democracy itu tidak ditemukan ketika dicari di Google. Mungkin saya salah keyword, tapi sejauh pencarian saya, tidak ada sekalipun lembaga dengan nama tersebut. Semakin aneh ketika nama Aksa Adhitama pun tidak ditemukan ketika disandingkan sebagai “pendiri Institute of Democracy”. Banyak nama yang muncul tapi sejauh keyakinan saya, bukan Aksa Adhitama yang dimaksud dalam tulisan LENSAnews.
LENSAnews ini adalah portal berita gaya baru yang menyebarkan berita melalui laman Facebook. Maka, jangan tanya apakah ada versi cetaknya atau tidak, versi websitenya pun tidak ada. Ada banyak website yang bernama Lensanews, tapi website yang menggunakan lambang yang sama dengan LENSAnews, tidak saya temukan. Jangankan nomor kotaknya, wartawannya pun tidak ada. Di laman Fanpage-nya, tidak ada informasi lengkap tentang redaksi, nomor kontak, dan informasi pendukung lainnya sebagai sebuah portal berita. Hanya tertera menu kirim pesan dan sebuah alamat, jauh di Jakarta sana. Maka sederhananya, mari kita pakai logika ini:
| Susunan redaksi tidak ada. Nomor telpon tidak ada. Alamat website tidak ada. Darimana mereka mendapatkan berita? Mungkin sesekali produksi sendiri, bisa juga dengan merubah berita dari pihak lain, atau ada pihak yang menghubungi untuk diberitakan. Opsi terakhir ini sepertinya lebih banyak. Ada pihak-pihak yang mengiriminya pesan untuk memuat sebuah tulisan. Isinya? Sesuai pesanan. Sesuai arahan.
Setelah selesai, dimuatlah di dinding Fanpage-nya. Tulisan yang mereka muat dirayakan sedemikian rupa seolah-olah berita valid. Lalu dibagikan oleh akun-akun atau kelompok tertentu yang setuju dan satu komando dengan si pemesan tulisan. Bahkan juga terjadi interaksi dengan saling komentar, yang sebagiannya diisi oleh akun-akun bodong untuk ikut meramaikan. Semakin ramai karena pihak tertentu merasa diuntungkan. Dari sanalah bermula "lingkaran setan" itu. |