Ketika mendikbud mengeluarkan kebijakan agar perpeloncoan di sekolah dihilangkan/diberantas. Tidak berlaku bagi dunia pendidikan tinggi yang masih banyak orang menganggap di kampus adalah orang-orang intelektual.Â
Tentu ini merupakan paradigma yang tak salah mengingat dunia kampus sangat dekat dengan kesiapan dunia nyata yang akan di hadapi. Tujuan para mahasiswa ke kampus adalah untuk belajar dan menghilangkan kebodohan, namun yang terjadi bukan memanusiakan manusia tapi malah mahasiswa baru (MaBa) dijadikan objek komedi dan ajang balas dendam dari senior sebelumnya.Â
Ini merupakan kesesatan cara berpikir mahasiswa senior yang masih membudaya hingga saat ini. Sudah barang tentu mahasiswa dan masyarakat yang menyadari hal demikian mulai responsif dan bergerak bagaimana sistem dunia kampus tanpa perpeloncoan.Â
Mungkin makna perpeloncoan disini masih sangat luas. Namun saya akan mengambil garis besarnya saja yakni, perpeloncoan merupakan kegiatan yang bersifat menindas, memaksa dan keharusan mengikuti segala perintah senior pada masa orientasi pengenalan kampus (OSPEK) atau seterusnya.Â
Biasanya aturan ini juga diperkuat dengan legalitas kampus dengan menjadikan ospek ini menjadi syarat mengikuti mata kuliah tugas akhir (skripsi).Â
Sangat mengkhawatirkan memang, contohnya teman saya yang baru saja masuk sudah diperintahkan untuk memotong rambutnya sampai pelontos tak tersisa sedikitpun.Â
Tiap fakultas dan jurusan memiliki kebijakan aneh yang berbeda-beda dalam menetapkan standar "Perpeloncoan" mereka masing-masing. Ada yang harus pake helm proyek entah darimana pun mendapatkannya, ada yang harus memakai tanda pengenal seperti pita atau bros selama satu tahun awal pengenalan serta masih banyak lagi kebodohan-kebodohan yang diciptakan untuk para calon sarjana intektual sebelum mereka benar-benar menyadari betapa sesatnya sistem yang selama ini mereka agung-agungkan dan dianggap sebagai proses pendidikan dan penempaan yang harus dilalui setiap mahasisa agar siap menghadapi kenyataan.
Kenyataan yang seperti apa yang harus melewati proses demikian bodohnya. yang lebih aneh para senior kakak tingkat ini selalu bungkam ketika adik-adiknya yang baru masuk kuliah ini memiliki kesulitan/masalah pribadi, contohnya kesulitan mempelajar suatu mata kuliah, tak ada yng menolong sama sekali dengan dalih agar menjadi pembelajaran dana membentuk mental.Â
Ada yang lebih parah lagi teman saya yang kesulitan dalam biaya meminta keringanan tenggat waktu dalam pembayaran tak satupun dari seniornya membantu harus ke staf bagian mana dalam knosultasi ini.Â
Banyak sekali ketidak-adilan yang terjadi di kampus yang justru mereka teriak-teriak  keadilan kepada pemerintah namun mereka malah menjadi "Sampah" di organisasi yang mereka tinggali sampai entah kapan mereka akan menyelesaikan masa pendidikan mereka.
Semoga kita semua menyadarinya, tentu tugas stake holder terutama pihak kampus dan pemerintah agar mulai membenahi budaya-budaya seperti ini yang jauh dari kata manusiawi.Â