Mohon tunggu...
D_Kun
D_Kun Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Santri Multimedia

Seorang anak yang memiliki nama lengkap Muhammad Diki Miswanto, dan saat ini bermukim di pp An-Nur 2 Bululawang malang, memiliki kebiasaan yang membingungkan, kadang jadi Fotografer, Kadang Videografer, kadang jadi penulis intinya tergantung mood di hari tertentu, dan saat ini masih menuntut ilmu di SMA AN-NUR Bululawang

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cahaya di Balik Keputusan

27 November 2024   11:03 Diperbarui: 27 November 2024   11:10 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Malam itu, langit di atas Pondok Pesantren An-Nur II terhampar gelap, diselimuti kabut malam yang menambah kesunyian seakan menutupi setiap jejak langkah. Angin berdesir pelan, menggoyangkan daun-daun yang terlelap dalam kedamaian. Suasana di sekitar masjid sangat tenang, hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan di kejauhan. Di sudut masjid yang penuh dengan lampu modern yang temaram, Hafizh duduk bersila, memegang mushaf kecil di tangan kanannya. Hatinya gelisah, meski ia baru saja menyelesaikan membaca surat Al-Mulk.

Hafizh merasa ada yang aneh malam itu. Biasanya, ia merasa damai setelah membaca Al-Qur'an, seolah ada ketenangan yang meresap ke dalam jiwa. Tapi malam ini, ada perasaan yang berbeda. Sesuatu yang belum bisa ia namakan, seperti firasat yang menyentuh relung hatinya. Sesaat, ia menutup mata dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Tiba-tiba, suara lembut namun tegas memanggil namanya. "Hafizh!"

Hafizh membuka mata dan menoleh. Di pintu masjid, berdiri Ustadz, seorang pengajar yang sangat dihormati di pesantren. Sorot matanya selalu tajam, tetapi penuh kebijaksanaan. Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya, meskipun masih ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya.

"Ada Apa Ustadz, Kenapa manggil Hafizh malam-malam?" tanya Hafizh dengan sopan, segera bangkit dari tempat duduknya dan melipat mushaf.

Ustadz Salam melangkah masuk ke masjid, mendekati Hafizh yang masih berdiri. "Kyai memanggilmu, Hafizh. Mulai besok pagi, kamu akan membantu di ndalem."

Kata 'ndalem' langsung menggetarkan hati Hafizh. Ndalem, tempat keluarga Kiyai tinggal, bukan hanya rumah biasa. Itu adalah tempat yang dihormati, penuh dengan kebijaksanaan, tetapi juga penuh dengan godaan yang mungkin tidak bisa ia hindari.

"Ndalem?" Hafizh bertanya dengan nada bingung.

Ustadz Salam mengangguk pelan. "Ya, Kyai ingin kamu membantu di sana. Mulai besok pagi. Siapkan dirimu."

Hafizh hanya mengangguk, meski pikirannya penuh tanda tanya. Kiyai memanggilnya untuk sesuatu yang lebih besar, tetapi ia tak mengerti apa yang dimaksud.

Malam itu, Hafizh kembali ke kamarnya dengan pikiran yang tak menentu. Langit-langit kamar dengan bola lampu yang mati seolah semakin menekan dirinya, memaksa ia untuk merenung lebih dalam. Apa yang dimaksud dengan 'memilih' dirinya untuk membantu di ndalem? Bukankah banyak santri lain yang lebih layak santri yang lebih pintar, lebih berpengalaman, lebih bijaksana?

Selama berjam-jam, pertanyaan itu terus mengganggu dirinya, tak bisa terjawab. Hafizh mencoba tidur, tetapi matanya tidak kunjung terpejam. Ia teringat pesan Ustadz Salam yang terkesan seperti peringatan:

"Kamu ini anak terpilih, Hafizh. Tetapi ingat, jangan sampai tergoda oleh apapun di sana. Jaga hatimu agar tetap bersih. Jangan biarkan kenikmatan dunia mengaburkan tujuanmu."

Kenikmatan dunia? Hafizh tidak mengerti. Ndalem, tempat keluarga Kiyai tinggal, selama ini ia anggap sebagai rumah yang penuh kesederhanaan. Kyai dan keluarganya tidak menunjukkan kehidupan mewah. Namun, pesan Ustadz Salam terasa seperti peringatan akan bahaya yang tersembunyi di balik kedamaian itu. Apakah ada sesuatu di sana yang akan menggoda dirinya?

Kegelisahan itu akhirnya membawanya tertidur, meski tidurnya tidak nyenyak.

Pagi harinya, setelah Subuh, Hafizh melangkah perlahan menuju ndalem. Ia tidak bisa mengusir perasaan gelisah yang masih membayangi dirinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat dari biasanya, dan pikirannya dipenuhi banyak kemungkinan yang tak terjangkau akal.

Ndalem itu memang besar, tetapi sederhana. Terletak di tengah pesantren, jauh dari keramaian, ndalem selalu dipandang penuh rasa hormat oleh para santri. Halaman luas dengan tanaman yang tertata rapi, ada taman kecil dengan bunga melati yang mekar, serta perpustakaan yang penuh dengan kitab-kitab kuno. Ketika Hafizh melangkah masuk, ia disambut oleh seorang santri yang telah mengabdi di ndalem sejak lama, yang segera memberitahunya tentang tugas yang harus ia lakukan.

"Menyapu halaman setiap pagi, menjaga kebersihan ruang tamu, merapikan rak-rak buku di perpustakaan Kyai, dan terkadang membantu di dapur jika diperlukan," ujarnya sambil memandunya.

Hafizh mendengarkan dengan seksama, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana baru ini. Tak ada yang istimewa, ia pikir. Begitu banyak pekerjaan yang tampak seperti rutinitas biasa, seperti di pesantren. Namun, tetap ada rasa tidak nyaman yang tak dapat ia lepaskan begitu saja.

Seiring berjalannya hari, Hafizh mulai merasa lebih tenang. Namun, sebuah kejutan datang di sore hari.

Hafizh sedang menyapu halaman depan ketika seorang perempuan muda tiba-tiba muncul di pintu masuk ndalem. Hafizh menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang santriwati berkerudung krem yang tampak tenang. Gadis itu memperkenalkan dirinya.

"Assalamu'alaikum, saya Nadhira," ucapnya dengan suara lembut, tetapi jelas.

"Wa'alaikumussalam," jawab Hafizh pelan, dengan nada yang lebih rendah. Ada rasa canggung yang tak bisa ia hilangkan begitu saja. Mereka berdua sama-sama baru di ndalem, namun Hafizh sadar betul bahwa mereka bukan mahram. Itu artinya, mereka tidak boleh berlama-lama berinteraksi tanpa sebab.

Namun, kenyataannya adalah bahwa sejak saat itu, pertemuan mereka tak bisa dihindari. Tugas di ndalem membuat mereka bertemu secara tidak langsung. Misalnya, saat Nadhira meninggalkan sapu tangan di bangku taman, atau ketika Hafizh secara tidak sengaja memegang pintu yang terbuka tepat ketika Nadhira sedang melintas.

Meskipun keduanya tahu bahwa interaksi mereka sangat terbatas, sesuatu dalam diri Hafizh mulai bergolak. Rasa ketertarikan yang ia coba hindari terus tumbuh tanpa bisa dibendung. Namun, ia juga tahu betul bahwa hal itu salah, bahwa mereka harus menjaga jarak, karena keduanya bukan mahram.

Pada suatu malam yang sunyi, setelah Hafizh menyelesaikan tugas-tugasnya, Kyai memanggilnya. Hafizh memasuki ruang tamu ndalem dengan langkah hati-hati, menghormati setiap langkah yang ia ambil. Di ruang itu, Kyai duduk dengan tenang, menyeduh teh herbal yang harum. Wajah sang Kyai yang biasanya tegas kini tampak lembut, seolah menunggu Hafizh dengan penuh perhatian.

"Hafizh," kata Kyai pelan, "kamu tahu mengapa aku memintamu untuk membantu di sini?"

Hafizh hanya menggelengkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Kyai memandangnya dengan tatapan yang dalam, seolah bisa membaca isi hatinya.

"Aku memilihmu karena aku melihat sesuatu dalam dirimu. Tetapi, ada satu hal yang lebih besar dari sekadar tugasmu di ndalem ini. Aku ingin kamu mempersiapkan diri, Hafizh. Ada ujian besar yang menanti."

Hafizh terdiam. Tidak tahu harus berkata apa, ia hanya menundukkan kepala, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Kamu akan bertemu dengan ujian yang datang dari dirimu sendiri. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tetapi satu hal yang perlu kamu ingat jaga hatimu, Hafizh. Jangan biarkan perasaan yang tidak semestinya tumbuh di dalam dirimu, terutama terhadap Santriwati yang juga baru di sini."

Kyai memberikan senyum tipis, yang entah mengapa terasa penuh misteri. Hafizh tidak tahu harus berkata apa. Namun, kata-kata Kiyai itu terus bergema dalam pikirannya.

Apa yang dimaksud Kiyai dengan ujian besar itu? Apa hubungannya dengan Nadhira, santriwati yang baru mengabdi di ndalem? Hafizh tidak tahu, tetapi yang ia tahu adalah bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan jalan yang akan ia tempuh penuh dengan tantangan yang tidak bisa ia hindari.

Sementara Hafizh sendiri terkejut, Beliau sang Kyai mengetahui apa yang ia rasakan selama seharian ia di ndalem, sementara lisannya hampir tak berbicara kecuali kepada Cacak Santri yang dirinya temui tadi pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun