Sebelum dibatalkannya Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA, cukup banyak artikel lalu lalang memberitakan tentang sepak bola Indonesia di timeline berita saya. Isinya hanya sedikit sekali yang memberitkan tentang jeleknya sepak bola di Indonesia. Kebanyakan memberitakan bagaimana tanggapan positif dari tokoh A, B, C dan seterusnya.
Bahkan, mungkin saking tidak ada bahan untuk diulas, pertengkaran netizen (Malaysia vs Indonesia) pun bisa jadi bahan. Tentunya beritanya lebih memihak ke Indonesia. Apalagi sejak SEA Games Kamboja 2023 usai dan sepak bola Indonesia berhasil menyabet emas, media Indonesia juga banyak memberitakan, katanya sepak bola dalam negeri cukup dikagumi dikalangan rakyat Kamboja dan juga sering jadi sorotan media Vietnam.
Timbul juga pujian dari media-media negara tersebut. Dari hal itu, banyak sekali media di Indonesia, yang memberitakan ulang berita dari media luar yang dirasa itu menyanjung sepak bola Indonesia.
Karena hampir setiap hari melihat headline berita yang nyaris sama, timbul pertanyaan "apakah sepak bola Indonesia sebagus itu?", "apakah tidak ada bahan berita yang lebih berbobot, dari hanya sekadar mengulas reaksi masyarakat luar negeri?". Bukan. Bukan saya tidak merasa bangga dengan perkembangan sepak bola Indonesia (yang sebenarnya, ya, nyaris jalan di tempat, hehe). Tapi menurutku sepak bola Indonesia terlalu dielu-elukan oleh media.
Mugkin saya akan dicap sebagai orang yang tidak mudah berbangga dengan pencapaian bangsanya. Atau terlalu meremahkan? Apapun itu, terserah pada para pembaca. Namun di sini saya akan mencoba memberikan sudut pandang  yang berbeda dari media-media itu (syukur kalau menyadarkan, hehe).
Peringkat sepak bola Indonesia masih rendah di Asia Tenggara
Jangan menyangkal hal tersebut, karena itulah faktanya. Menurut peringkat FIFA terbaru per 23 Juni 2022, Indonesia berada di peringkat 149 dari 210 anggota FIFA, dengan total poin 1046.14. Ini menempatkan Indonesia di peringkat 34 di Asia dan 4 di Asia Tenggara. Kalah dari Vietnam (93), Thailand (113), dan Malaysia (137). Peringkat tertinggi yang pernah dicapai Indonesia adalah 76 pada tahun 1998, sedangkan peringkat terendah adalah 191 pada tahun 2016.
Peringkat itu didasarkan pada hasil pertandingan, kekuatan lawan, pentingnya pertandingan, dan konfederasi regional. Setiap bulan FIFA tak bosan memperbarui peringkat tersebut, untuk menentukan unggulan dalam kompetisi internasional seperti Piala Dunia dan Piala Konfederasi. Dari peringkat ini kita bisa melihat gambaran umum tentang prestasi dan perkembangan tim nasional sepak bola suatu negara di kancah internasional.
Sepak Bola Indonesia 'Banyak Drama'Â Â Â Â Â
Sepertinya saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar soal ini. Saya rasa masyarakat Indonesia baik penggemar atau bukan tahu bagaimana 'dramanya' dunia persepakbolaan Indonesia. Banyak persoalan yang membayangi, mulai dari tata kelola yang tidak tertata dan pembangunan yang tidak membangun. PSSI pun juga menjadi sarang konflik kepentingan dari oknum tak bertanggung jawab.
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas, rendahnya standar profesionalisme, minimnya dukungan infrastruktur dan fasilitas (yang masih tersentral di kota-kota besar), serta lemahnya pengembangan bakat muda adalah beberapa persoalan dari banyaknya persoalan lain. Tak hanya itu, sepak bola Indonesia juga kerap diwarnai oleh kekerasan dan vandalisme yang melibatkan suporter fanatik.
Menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 tidaklah seprestisius itu
Hal itu akan menjadi benar kalau tidak diimbangi dengan prestasi dan kualitas sepak bola Indonesia yang memadai. Menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 memang merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuan dan potensi sebagai negara sepak bola. Saya akui hal itu cukup membuat saya bangga (saya mewakili banyak masyarakat).
Namun, jika tidak disertai dengan peningkatan prestasi dan kualitas sepak bola Indonesia, maka menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 hanya akan menjadi ajang pamer tanpa makna.Â
Terlebih yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Indonesia mampu masuk dan bertanding di Piala Dunia U-17 kalau tidak jadi tuan rumah? Indonesia harusnya belajar dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam sepak bola.
Kesimpulannya, banyak media massa Indonesia yang tidak kritis inilah yang melatarbelakangi saya menulis artikel ini. Media massa Indonesia masih maju mundur untuk memberitakan berita yang mengkritisi, dan terjebak pada narasi yang mengelu-elukan sepak bola Indonesia.Â
Mereka lebih memilih bahan berita yang sensasional dan kontroversial daripada menonjolkan hal-hal yang lebih substansial dan konstruktif. Fakta dan realitasnya seakan perlahan terkubur, meski ingatan masyarakat akan apa saja yang pernah terjadi tidak bisa hilang begitu saja.
Saya tidak tahu apa alasannya. Padahal dengan lebih kritis dalam menganalisa dapat memberikan kontribusi berupa saran untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia. Dengan berita-berita yang 'lunak' seperti yang saya jelaskan sebelumnya, itu bisa jadi membuat pemangku kepentingan tidak bergerak secara dinamis dan konsisten untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia. Masih santai menikmati pujian-pujian dari media dan netizen.
Ini mungkin tidak sependapat dengan para pembaca, tapi bagi penulis perlu sampaikan barang kali bisa menjadi salah satu sudut pandang. Karena penulis sendiri bukanlah penggemar bola. Dan barangkali juga bisa lebih objektif dalam memberikan sudut pandang dan penilaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H