Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Si Melon dan Dampak Kebijakan Baru

3 Februari 2025   17:38 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:10 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa harus distribusi yang tersentralisir di pangkalan Pertamina pun, harga gas di Indonesia memang sudah di atas negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Harga gas di Indonesia rata-rata US$8,3 per MMBTU, sedangkan di Malaysia US$6,6 per MMBTU dan Thailand US$7,7 per MMBTU.

Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, yang menilai bahwa kebijakan ini justru berdampak negatif pada usaha kecil dan menengah. "Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tersebut merupakan kebijakan blunder lantaran mematikan pengusaha akar rumput, menyusahkan konsumen, dan melabrak komitmen Presiden Prabowo yang berpihak kepada rakyat kecil," kata Fahmy Radhi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu, 2 Februari 2025.

Di sini saya teringat dengan Plato.yang mengatakan bahwa keadilan adalah ketika setiap orang mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Namun, dalam kasus elpiji 3 kg, pertanyaannya bukan hanya tentang harga yang stabil, tetapi juga tentang akses yang semakin terbatas. Masyarakat yang sebelumnya bisa membeli elpiji dari warung atau pengecer kini harus menyesuaikan diri dengan mekanisme baru yang tidak selalu praktis.

Di pasar, ibu-ibu antre dengan wajah cemas, bertanya apakah besok elpiji masih tersedia di pangkalan resmi. Bagi mereka, gas melon bukan sekadar energi untuk memasak, melainkan simbol kestabilan ekonomi rumah tangga. Jika distribusi terganggu, dampaknya bisa merembet ke sektor lain---dari harga makanan di warung hingga kelangsungan usaha kecil yang mengandalkan elpiji 3 kg sebagai bahan bakar utama.

Kebijakan Pemerintah dan Tantangan

Presiden Prabowo, dalam narasi Asta Cita-nya, berbicara tentang kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Namun, kesejahteraan bukan sekadar narasi; ia membutuhkan perhitungan yang cermat dan keberanian untuk menegakkan keadilan. Jika penataan distribusi elpiji 3 kg hanya menjadi dalih bagi mekanisme pasar untuk bermain-main dengan pasokan, maka rakyat hanya bisa menatap dapur mereka yang semakin sunyi---tanpa api, tanpa asap, tanpa harapan.

Seperti yang dikatakan Joseph Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012), "Pasar bebas tanpa regulasi yang tepat hanya akan menciptakan ketidaksetaraan, bukan kesejahteraan." Maka pertanyaannya kini, apakah reformasi distribusi elpiji 3 kg benar-benar memberi keadilan bagi mereka yang membutuhkan, atau sekadar babak baru dari kebijakan yang justru menambah kesulitan bagi rakyat kecil?

Ibu yang meninggal di Pamulang barangkali tak sempat membaca buku Stiglitz. Ia juga mungkin tak terlalu peduli dengan filosofi ekonomi atau teori kebijakan publik. Yang ia tahu, dapurnya tak boleh padam, karena di sanalah keluarganya bergantung. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—gas yang harusnya menyala di dapurnya, justru meredup bersama nyawanya.

Jakarta, 3 Februari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun