Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seabad Pram: Antara Ideologi, Keadilan, dan Takdir Tuhan

2 Februari 2025   12:20 Diperbarui: 2 Februari 2025   16:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seabad Pram: Antara Ideologi, Keadilan, dan Takdir Tuhan

Oleh Dikdik Sadikin 

AKU membaca Pramoedya Ananta Toer dengan rasa waswas. Nama itu selalu diselubungi prasangka: penulis Lekra, simpatisan kiri, seseorang yang pernah bernaung di bawah panji-panji Partai Komunis Indonesia. 

Di lingkunganku, nama Pram tak lebih dari bayang-bayang masa lalu yang hendak dikubur bersama sejarah 1965.

Tetapi kata-kata memiliki kekuatan yang sulit ditolak. Aku di usia dua puluh tahun (1985) mulai dari Bumi Manusia, bukan karena ingin memahami Pram. Tetapi karena ingin tahu mengapa begitu banyak orang mengaguminya. Namun, semakin aku membaca, semakin sulit bagiku untuk sekadar membenci.

***

Pram adalah tokoh yang banyak dibenci sekaligus dipuja. Ia adalah penulis besar yang diasingkan oleh negaranya sendiri, tetapi dihormati di luar negeri. Karya-karyanya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, dibaca oleh akademisi dari Harvard hingga Sorbonne, tetapi di negerinya sendiri, ia dicap berbahaya.

Sebagian orang menganggapnya sebagai penyair kebebasan, seorang yang berani menantang tirani melalui kata-kata. Tetapi bagi yang lain, ia adalah pengkhianat bangsa, seorang yang pernah berada di lingkaran kekuatan kiri yang ditakuti. 

Pram dijebloskan ke Pulau Buru tanpa pengadilan. Bukunya dilarang beredar selama lebih dari tiga dekade. Tetapi gagasannya tetap hidup, beredar di bawah tangan, dibaca dalam sunyi, dan diam-diam membentuk cara berpikir banyak orang.

Dalam sebuah wawancara, Pram pernah berkata, "Saya ini musuh negara. Tapi saya bukan musuh rakyat." Kalimat itu menusuk. Ia bukan hanya berbicara tentang dirinya, tetapi tentang bagaimana sejarah menciptakan musuh-musuhnya sendiri.

Aku membaca Anak Semua Bangsa, lalu Jejak Langkah. Aku melihat bagaimana Pram membangun Minke menjadi seorang pemikir revolusioner, tetapi tetap tanpa menyinggung Islam sebagai elemen utama perjuangan. Ini mengingatkanku pada pertentangan lama antara Lekra dan kelompok Islam di tahun 1950-an, saat gerakan kebudayaan kiri menolak gagasan bahwa agama harus menjadi poros dalam kebudayaan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun