Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dulu Kita

1 Februari 2025   14:06 Diperbarui: 1 Februari 2025   20:34 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: DALL-E, RemakerAI




Dulu Kita

Oleh Dikdik Sadikin

dulu kita hujan yang jatuh di jendela

tak perlu bertanya dari mana datangnya

tak peduli ke mana perginya

cukup ada, cukup saling basah

"aku masih mengingat suaramu di sela gerimis,

seperti angin yang tak lelah mengetuk jendela..."

dulu kita angin yang lupa arah

berputar di antara detak waktu

meninggalkan jejak di daun-daun

yang tak pernah bertanya kenapa harus gugur

"kau tahu? malam masih mengulang bayangmu,

seperti debur ombak yang tak 

bisa menahan diri

untuk kembali ke tepi yang sama..."

kini kita hanya sisa gerimis di jalan lengang

nama yang perlahan luntur dari ingatan trotoar

suara yang masih terdengar

tapi tak lagi bisa disentuh

"aku tidak pernah pergi, 

hanya terhenti di sela-sela kenangan,

menunggumu membaca rindu yang tak sempat kukirimkan..."

kamu masih ada di ujung angin

di sudut-sudut senja yang tak selesai

aku masih di sini, mencoba mengeja

rintik yang dulu kita namai rindu

dulu kita hujan

kini kita bayang-bayang

yang hanya singgah sebentar

sebelum akhirnya hilang.

Bogor, 1 Februari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun