MEDIA sosial, seperti panggung tanpa tirai, menampilkan kehidupan kita kepada dunia. Di sana, kebahagiaan bertransformasi menjadi tontonan. Kenangan menjadi konten. Namun, di balik gemerlap itu, ada bahaya yang mengintai—terutama ketika yang kita bagikan adalah kehidupan anak-anak kita.
Fenomena sharenting, lahir dari kata share dan parenting, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern. Orang tua memamerkan foto anak-anak mereka—ulang tahun pertama, hari pertama sekolah, atau sekadar tawa di taman bermain. Namun, dalam euforia berbagi, mereka kerap melupakan satu kenyataan: jejak digital tidak pernah benar-benar terhapus. Di situ, di tangan para predator, mereka adalah mangsa-mangsa empuk.
Menurut UNICEF, 75% anak-anak di bawah usia 12 tahun telah memiliki identitas digital yang diciptakan oleh orang tua mereka, sering tanpa sadar. Laporan ini juga mencatat bahwa sepertiga dari foto anak-anak yang ditemukan di situs predator seksual berasal dari unggahan media sosial yang tampak “tidak berbahaya.”
Kasus seperti ini bukan hanya angka. Pada 2018, seorang ibu di Amerika Serikat membagikan video anaknya belajar berenang. Tanpa sepengetahuannya, video itu diunggah ulang di situs gelap dan dijadikan materi oleh kelompok dengan niat buruk. Trauma ini, meski tak kasat mata, membekas di setiap keluarga yang mengalaminya. Di lain kasus, seorang ibu tanpa sadar membagikan lokasi sekolah anaknya melalui sebuah unggahan ulang tahun. Informasi itu digunakan oleh seorang predator untuk melacak aktivitas harian anak tersebut. Untungnya, pihak keamanan bertindak cepat. Namun, trauma yang dirasakan keluarga itu sulit dihapus.
Di Prancis, pemerintah mengambil langkah tegas melalui hukum perlindungan anak, "Loi Avia", yang memungkinkan anak-anak menggugat orang tua mereka atas pelanggaran privasi digital. Sementara itu, Jerman menetapkan batasan ketat bagi sharenting, terutama untuk anak-anak berusia di atas 14 tahun.
Namun, di Indonesia, sharenting masih menjadi “ladang bebas.” Dengan 70% pengguna media sosial aktif adalah orang tua, dan sebagian besar tidak menyadari risiko privasi digital. Di sini, anak-anak menjadi bintang di dunia maya tanpa perlindungan yang memadai.
Lalu, bagaimana kita sebagai orang tua dapat memitigasi risiko ini? Berikut adalah beberapa langkah yang dapat menjadi panduan—cara bijak berbagi tanpa mengorbankan keselamatan dan privasi anak-anak.