Ada paradoks yang mengendap dalam tanah dan udara negeri ini. Indonesia, sebuah nama yang diucapkan dengan kebanggaan sekaligus kegelisahan, adalah puisi yang belum selesai ditulis.
Di atas lembarannya, kekayaan dan keindahan terlukis dengan metafora yang memukau: hutan-hutan hujan tropis yang tak tertandingi—mencakup 10% dari total hutan hujan dunia—dan laut-laut biru yang menjadi rumah bagi 15% spesies terumbu karang dunia.
Namun, dalam kesempurnaan itu, ada noda-noda yang merayap di balik megahnya lanskap. Menurut Global Forest Watch, Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer antara 2002 hingga 2020, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia, berdampingan dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo.
Di tanah ini, alam telah memberi lebih dari cukup, tetapi manusia kadang lupa untuk bersyukur. "Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan satu orang," Gandhi pernah mengingatkan. Namun, Indonesia, negeri dengan rahim kaya mineral—memiliki cadangan nikel terbesar di dunia—seringkali menjadi panggung dari kerakusan yang tak terkendali. Kasus Freeport di Papua adalah contoh pahit bagaimana sumber daya alam justru mengalienasi penduduk lokal. Sebuah laporan dari Oxfam mencatat bahwa 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai hampir setengah kekayaan negara, menciptakan jurang ketimpangan yang nyaris mustahil dijembatani.
Keberagaman Indonesia adalah paradoks lainnya. Seperti orkestrasi nada-nada dari ratusan etnis, agama, dan bahasa, keberagaman ini adalah harmoni yang langka di dunia. Namun, seperti dalam simfoni, ada saat di mana nada sumbang terdengar. Konflik etnis di Poso pada awal 2000-an, bentrokan di Papua, hingga tawuran antar warga, adalah bukti bagaimana keberagaman bisa menjadi sumber konflik. Dalam Indeks Perdamaian Global 2024, Indonesia menduduki peringkat 47 dari 163 negara, cukup baik, tetapi masih kalah jauh dari tetangga seperti Singapura (peringkat 11). “Kebebasan sejati,” tulis Nelson Mandela, “tidak hanya berarti membebaskan diri dari rantai, tetapi juga hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain.”
Indonesia juga punya kekuatan yang datang dari semangat rakyatnya. Petani-petani yang menyulam kehidupan dari tanah, nelayan-nelayan yang menantang gelombang, dan anak-anak yang belajar di bawah lilin adalah epitom dari daya tahan. Namun, kekuatan itu seringkali tertahan oleh sistem yang tidak berpihak. Laporan dari UNESCO pada 2023 menunjukkan bahwa 30% anak Indonesia berusia 7-12 tahun tidak dapat membaca dengan baik, sebuah ironi di negara yang memiliki program wajib belajar 9 tahun. Jurang ketimpangan ini tidak hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam akses kesehatan. Rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia hanya 0,4—jauh di bawah Malaysia (1,6) dan Thailand (0,8).
Namun, saudaraku, di tengah segala kerapuhan ini, Indonesia tetap berdiri. Ia seperti pohon tua yang akarnya menggenggam tanah dengan kuat meski badai datang bertubi-tubi. Harapan, meski kadang nyaris padam, tetap menyala di sudut-sudut kehidupan. Ketika bencana melanda, rakyat Indonesia menunjukkan semangat gotong royong yang tak tertandingi. Contoh paling nyata adalah tsunami Aceh 2004, di mana masyarakat lokal, relawan dari seluruh negeri, dan dunia internasional bahu-membahu memulihkan wilayah yang porak poranda.