Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Melukis Harapan di Kanvas Retak Indonesia

25 Januari 2025   12:44 Diperbarui: 25 Januari 2025   12:13 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penebangan hutan sekitar 2,5 juta hektare di Kalimantan Timur. Foto diambil akhir 2003. (KOMPAS/TRY HARIJONO)

Ada paradoks yang mengendap dalam tanah dan udara negeri ini. Indonesia, sebuah nama yang diucapkan dengan kebanggaan sekaligus kegelisahan, adalah puisi yang belum selesai ditulis.

Di atas lembarannya, kekayaan dan keindahan terlukis dengan metafora yang memukau: hutan-hutan hujan tropis yang tak tertandingi—mencakup 10% dari total hutan hujan dunia—dan laut-laut biru yang menjadi rumah bagi 15% spesies terumbu karang dunia.

Namun, dalam kesempurnaan itu, ada noda-noda yang merayap di balik megahnya lanskap. Menurut Global Forest Watch, Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer antara 2002 hingga 2020, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia, berdampingan dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo.

Di tanah ini, alam telah memberi lebih dari cukup, tetapi manusia kadang lupa untuk bersyukur. "Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan satu orang," Gandhi pernah mengingatkan. Namun, Indonesia, negeri dengan rahim kaya mineral—memiliki cadangan nikel terbesar di dunia—seringkali menjadi panggung dari kerakusan yang tak terkendali. Kasus Freeport di Papua adalah contoh pahit bagaimana sumber daya alam justru mengalienasi penduduk lokal. Sebuah laporan dari Oxfam mencatat bahwa 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai hampir setengah kekayaan negara, menciptakan jurang ketimpangan yang nyaris mustahil dijembatani.

Keragaman agama di Indonesia (Sumber: Pinterest)
Keragaman agama di Indonesia (Sumber: Pinterest)

Keberagaman Indonesia adalah paradoks lainnya. Seperti orkestrasi nada-nada dari ratusan etnis, agama, dan bahasa, keberagaman ini adalah harmoni yang langka di dunia. Namun, seperti dalam simfoni, ada saat di mana nada sumbang terdengar. Konflik etnis di Poso pada awal 2000-an, bentrokan di Papua, hingga tawuran antar warga, adalah bukti bagaimana keberagaman bisa menjadi sumber konflik. Dalam Indeks Perdamaian Global 2024, Indonesia menduduki peringkat 47 dari 163 negara, cukup baik, tetapi masih kalah jauh dari tetangga seperti Singapura (peringkat 11). “Kebebasan sejati,” tulis Nelson Mandela, “tidak hanya berarti membebaskan diri dari rantai, tetapi juga hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain.”

Para petani wanita Indonesia (Sumber: Freepik)
Para petani wanita Indonesia (Sumber: Freepik)

Indonesia juga punya kekuatan yang datang dari semangat rakyatnya. Petani-petani yang menyulam kehidupan dari tanah, nelayan-nelayan yang menantang gelombang, dan anak-anak yang belajar di bawah lilin adalah epitom dari daya tahan. Namun, kekuatan itu seringkali tertahan oleh sistem yang tidak berpihak. Laporan dari UNESCO pada 2023 menunjukkan bahwa 30% anak Indonesia berusia 7-12 tahun tidak dapat membaca dengan baik, sebuah ironi di negara yang memiliki program wajib belajar 9 tahun. Jurang ketimpangan ini tidak hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam akses kesehatan. Rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia hanya 0,4—jauh di bawah Malaysia (1,6) dan Thailand (0,8).

Anak-anak Indonesia ceria berpakaian daerah. (Sumber: Freepik)
Anak-anak Indonesia ceria berpakaian daerah. (Sumber: Freepik)

Namun, saudaraku, di tengah segala kerapuhan ini, Indonesia tetap berdiri. Ia seperti pohon tua yang akarnya menggenggam tanah dengan kuat meski badai datang bertubi-tubi. Harapan, meski kadang nyaris padam, tetap menyala di sudut-sudut kehidupan. Ketika bencana melanda, rakyat Indonesia menunjukkan semangat gotong royong yang tak tertandingi. Contoh paling nyata adalah tsunami Aceh 2004, di mana masyarakat lokal, relawan dari seluruh negeri, dan dunia internasional bahu-membahu memulihkan wilayah yang porak poranda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun