Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 4,8 miliar per tahun diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 Tahun 2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN. Dengan demikian, UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun tidak diwajibkan membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan maupun memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi barang dan jasa mereka. Pemerintah Indonesia, dalam langkah terbaru, mencoba beradaptasi dengan menurunkan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar. Kebijakan ini, meski menjanjikan perluasan basis pajak, menyeret kita pada diskusi panjang soal keadilan fiskal.
SELAMA ini, ketentuan mengenai ambang batasLangkah ini seolah mengundang pengusaha kecil-menengah (UKM) ke dalam panggung besar perpajakan. Dalam narasi pemerintah, seperti dijelaskan oleh Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, (Kompas, 19/12) kebijakan ini selaras dengan rekomendasi OECD dan Bank Dunia. Basis pajak yang lebih luas dianggap dapat menopang kas negara yang saat ini lesu. Tapi, di sisi lain, seperti mengutip pepatah Latin, summum ius summa iniuria — keadilan yang diterapkan secara ekstrem justru bisa menjadi ketidakadilan.
Indonesia saat ini memiliki sekitar 64 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah (Kementerian Koperasi dan UKM, 2023). Dari jumlah ini, hanya sekitar 2% yang menjadi wajib pajak (Direktorat Jenderal Pajak, 2023). Penurunan ambang batas ini berarti menambah sekitar 1 juta UKM baru ke dalam daftar pajak. Dengan kontribusi UKM mencapai 60,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 (Badan Pusat Statistik, 2023), langkah ini diproyeksikan menambah pendapatan negara hingga Rp 15 triliun per tahun (Kementerian Keuangan, 2024). Namun, manfaat fiskal ini dibayangi oleh risiko stagnasi sektor UKM yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional.
Langkah ini mungkin menguntungkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi akan menjadi beban tambahan bagi UKM. Ketika daya beli masyarakat sedang melemah dan dunia usaha lesu, kewajiban pajak baru ini bisa menjadi batu yang menenggelamkan kapal kecil yang sudah oleng.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini membuka peluang perilaku oportunistik. Pelaku usaha, misalnya, dapat memecah perusahaannya menjadi beberapa entitas kecil agar tetap berada di bawah ambang batas pajak. Kasus seperti ini sudah terjadi di negara-negara lain, termasuk India dan Brasil, di mana sistem perpajakan justru menciptakan distorsi ekonomi.
insentif pajak sebesar 0,5% untuk omzet di bawah Rp 500 juta tanpa mekanisme dukungan lain yang signifikan.
Di negara maju seperti Inggris, ambang batas pajak serupa untuk UKM adalah £85,000 per tahun atau sekitar Rp 1,6 miliar. Namun, di sana, UKM mendapatkan insentif besar berupa akses pembiayaan murah, pelatihan, dan pendampingan bisnis. Di Singapura, pemerintah menerapkan ambang batas pajak yang rendah, tetapi memberikan potongan hingga 75% untuk pajak penghasilan UKM. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya menyediakanIndonesia, sayangnya, sering melupakan aspek pendukung ini. Dengan fasilitas yang minim, UKM dipaksa bersaing di pasar global sekaligus menanggung beban domestik. Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2022, 45% pelaku UKM di Indonesia menyatakan kurangnya akses pembiayaan sebagai kendala utama pertumbuhan mereka (World Bank, 2022).
Jika keadilan adalah pertimbangan utama, maka dialog seharusnya menjadi instrumen prioritas. Sayangnya, pelaku UKM yag disuarakan para tokoh asosiasinya merasa dikesampingkan dari proses penyusunan kebijakan ini.
Jalan Keluar
Langkah pemerintah untuk menurunkan ambang batas PKP seyogyanya dibarengi dengan tiga hal utama: transparansi, dialog, dan insentif. Tanpa transparansi, kebijakan ini akan tampak seperti jebakan fiskal. Tanpa dialog, pemerintah kehilangan kesempatan untuk memahami realitas UKM. Dan tanpa insentif, pelaku usaha tidak akan memiliki daya tahan menghadapi beban baru.
Kebijakan ini mengingatkan kita pada sebuah drama klasik: keputusan yang terlihat logis di atas kertas, namun menjadi absurditas di lapangan. “Keadilan pajak bukan sekadar soal angka,” tulis Adam Smith dalam The Wealth of Nations, “Ia adalah seni menjaga keseimbangan.” Jika seni itu dilupakan, maka UKM — tulang punggung ekonomi bangsa — hanya akan menjadi angka lain dalam statistik kegagalan kebijakan.
Jakarta, 19 Desember 2024
Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H