Hari senja datang, perlahan merayap
Seperti bayangan pohon akasia di jendela
Langit temaram, jingga memeluk batas waktu
Dan aku duduk di sini, menatap lembar terakhir
Surat yang kutandatangani dengan tinta tua.
Meja kerja ini, saksi bisu cerita panjang
Tumpukan berkas yang pernah menjadi bukit
Hiruk pikuk rapat, debat yang menusuk telinga
Juga tawa kecil, dan secangkir kopi yang tak habis diminum.
Semua itu kini terasa ringan, berlalu disapu angin senja.
Kursi kulit yang kini enggan berderit
Pernah jadi tahtaku dalam ruang yang tak bernama
Direktur, katanya, gelar yang berlapis formalitas
Namun aku tahu, di luar sana aku hanya lelaki biasa
Yang pulang ke rumah dengan sepatu sedikit berdebu.
Di balik setiap laporan yang tertata rapi
Ada malam-malam yang dihuni sepi
Ada doa-doa lirih istriku di atas sajadah
Dan wajah anak-anakku yang kadang kulihat samar
Di balik kaca foto yang usang di meja ini.
Satu Maret aku akan melangkah pergi
Meninggalkan gedung ini dengan langkah perlahan
Tiada lagi tanda tangan yang mendikte nasib orang
Tiada lagi rapat yang memaku pikiranku pada tabel anggaran
Hanya angin yang menyapa rambutku yang mulai memutih.
Apa yang tersisa?
Bukan gaji, pangkat atau kewenangan yang pernah kupikul
Bukan ruangan megah atau penghargaan berbingkai kaca
Tapi cerita kecil, tentang setia pada pekerjaan
Dan tentang manfaat yang selalu kucoba tebar
Hari senja di meja kerja iniÂ
Mengajarkanku satu hal yang tak diajarkan jabatan:
Bahwa semua akan berlalu,
Dan yang abadi hanya waktu,
Yang menggulung kita seperti buih di ujung gelombang.
Maka aku bersiap,
Melepas atribut, menyimpan kenangan
Dan kembali menjadi lelaki biasa
Yang merayakan hidup dengan sederhana
Di bawah langit senja yang memeluk batas waktu.
Jakarta, 13 Januari 2025