Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renai Hujan di Bulan Januari

8 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   08:28 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


JANUARI selalu punya cara sendiri untuk meluruhkan apa yang pernah dibangun Desember. Hujan jatuh tanpa jeda, seolah hendak mencuci kenangan, membiarkan bumi meresapi sesuatu yang baru.
Di sudut kafe kecil di pinggiran kota, mereka bertemu lagi. Seperti menemukan oase di padang sahara,  setelah tahun-tahun yang terlalu panjang menunggu.

Awan, lelaki yang selalu membawa senyum seperti langit selepas badai, duduk di kursi kayu di pojok ruangan. Di depannya, meja kecil dengan dua cangkir kopi yang mengepul tipis, menawarkan kehangatan dalam dingin yang menggigit.

Di seberangnya, Kirana, perempuan yang pernah mencuri waktunya—dan hatinya—berada di sana. Matanya penuh cahaya, meski sedikit mendung bertengger di ujung bulu matanya.

“Mengapa hujan tak pernah berhenti di bulan ini?” tanyanya. Suaranya tenang, tapi ada serpihan rindu di sana yang tak bisa ia sembunyikan.

Awan tersenyum, matanya menatap keluar jendela. “Mungkin karena Januari adalah cara semesta mengajari kita untuk menumbuhkan sesuatu. Seperti pohon, Kirana. Kita butuh air untuk hidup.”

Kirana terdiam, memutar sendok kecil di cangkirnya. Waktu telah menjauhkan mereka, tapi memori tentang percakapan seperti ini tetap lekat. Awan selalu punya metafora untuk segalanya, dan itu yang membuatnya jatuh cinta bertahun-tahun lalu.

“Lalu, apa yang kita tumbuhkan kali ini?” tanyanya pelan.

Awan menatapnya. Ada jeda sebelum ia menjawab, seakan memilih kata-kata yang tak akan berakhir sia-sia. “Harapan,” katanya akhirnya.

Di luar, hujan semakin deras. Tetesannya seperti irama yang mengiringi cerita mereka. Kirana ingat bagaimana semuanya dimulai—di taman kecil, di bawah hujan yang sama. Dia ingat tawa Awan, bagaimana lelaki itu selalu membuat dunia tampak sederhana, meski saat itu mereka sama-sama tahu hidup tak pernah benar-benar mudah.

“Tapi harapan tak selalu tumbuh, Awan. Kadang ia mati bahkan sebelum sempat berakar.”

“Bukan karena hujan yang salah,” balas Awan cepat. “Kadang tanahnya memang belum siap.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun