Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ancaman Tsunami Terhadap Jakarta: Siapkah Kita?

6 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 6 Januari 2025   12:32 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi imajinatif andai Jakarta dilanda tsunami (Sumber: Dall-E)

Jepang, yang rutin menghadapi ancaman tsunami, menjadi contoh mitigasi bencana yang efektif.  Langkah mitigasi bencana tsunami di sana sangat terintegrasi.

Setelah gempa Tohoku 2011 yang memicu tsunami hingga setinggi 40 meter, sesuai informasi dari Japan Meteorological Agency, 2012, pemerintah Jepang meningkatkan kesiapan dengan membangun tembok laut raksasa hingga setinggi 14 meter sepanjang 400 kilometer di pesisir rawan, dilengkapi bendungan tsunami di mulut sungai dan fasilitas pelabuhan yang mampu menyerap energi gelombang. Infrastruktur ini dirancang untuk mengurangi dampak gelombang besar secara signifikan. Jepang juga menanam sistem peringatan dini berteknologi tinggi. Dengan lebih dari 1.000 sensor gempa, Japan Meteorological Agency (JMA) mampu mengukur magnitudo gempa dan potensi tsunami secara otomatis, mengirimkan peringatan melalui radio, televisi, pesan teks, hingga sirene di daerah pesisir hanya dalam hitungan detik. Disamping itu, dibangun sistem peringatan dini berbasis satelit, dan menyelenggarakan edukasi kepada masyarakat.

Namun, Jepang tidak hanya bergantung pada teknologi. Edukasi dan latihan evakuasi menjadi prioritas, dengan pelatihan rutin bagi masyarakat di sekolah, tempat kerja, dan komunitas lokal. Contoh suksesnya adalah "Kamaishi Miracle," di mana ribuan siswa berhasil menyelamatkan diri dalam tsunami 2011 berkat edukasi dini dan respon cepat.

Di tingkat tata kota, Jepang menerapkan rencana berbasis risiko, termasuk relokasi permukiman ke area tinggi, zona hijau berupa hutan bakau, serta standar bangunan tahan gempa dan tsunami. Selain itu, dalam pemulihan pascabencana, Jepang mengalokasikan 16 triliun yen untuk rekonstruksi infrastruktur, dukungan psikologis bagi korban, dan pengembangan teknologi mitigasi baru seperti DART dan simulasi berbasis AI. Jepang juga aktif dalam kerja sama internasional, berbagi keahlian melalui program seperti Asia-Pacific Tsunami Warning and Mitigation System (PTWS).

Bagi Indonesia, langkah-langkah ini menjadi cerminan penting untuk membangun sistem mitigasi risiko yang tidak hanya tangguh secara teknologi tetapi juga melibatkan edukasi masyarakat dan perencanaan berbasis risiko. Seperti pepatah Jepang, "Nana korobi, ya oki" — kesiapan bencana adalah tentang bangkit lebih kuat dari setiap tantangan.

Di sini lah tantangannya bagi Jakarta dan sekitarnya.  Investasi dalam teknologi deteksi dini, perencanaan tata kota berbasis risiko, dan edukasi publik menjadi mutlak bagi kota megapolitan ini. Namun, semua itu membutuhkan komitmen yang konkrit dan segera, sebelum semua terlambat.

Ilustrasi tsunami di Jepang. (Sumber: Freepik)
Ilustrasi tsunami di Jepang. (Sumber: Freepik)

 

Refleksi: Menjaga Keseimbangan

"Manusia harus menghormati alam seperti menghormati dirinya sendiri," kata Rachel Carson, seorang ilmuwan lingkungan yang terkenal dengan buku Silent Spring (1962), yang memulai gerakan lingkungan modern. Ketidakpedulian kita terhadap lingkungan telah memperbesar risiko bencana. Penebangan hutan mangrove di pantai utara Jakarta untuk kepentingan reklamasi, seperti dilansir dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023), telah menghapus salah satu pelindung alami dari tsunami . 

Setiap ancaman adalah pelajaran. Jika tsunami datang, Jakarta bukan hanya akan dihantam gelombang air, tetapi juga gelombang penghakiman atas cara kita memperlakukan bumi. Seperti yang pernah diucapkan oleh Greta Thunberg, aktivis lingkungan muda yang memulai gerakan iklim global, "You are never too small to make a difference." Ucapannya, yang disampaikan pada pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018, mengingatkan bahwa aksi kecil perubahan positif yang konsisten dapat membawa perubahan besar. Karena setiap tindakan manusia di bumi, akan berpengaruh kepada alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun