Jepang, yang rutin menghadapi ancaman tsunami, menjadi contoh mitigasi bencana yang efektif. Â Langkah mitigasi bencana tsunami di sana sangat terintegrasi.
Setelah gempa Tohoku 2011 yang memicu tsunami hingga setinggi 40 meter, sesuai informasi dari Japan Meteorological Agency, 2012, pemerintah Jepang meningkatkan kesiapan dengan membangun tembok laut raksasa hingga setinggi 14 meter sepanjang 400 kilometer di pesisir rawan, dilengkapi bendungan tsunami di mulut sungai dan fasilitas pelabuhan yang mampu menyerap energi gelombang. Infrastruktur ini dirancang untuk mengurangi dampak gelombang besar secara signifikan. Jepang juga menanam sistem peringatan dini berteknologi tinggi. Dengan lebih dari 1.000 sensor gempa, Japan Meteorological Agency (JMA) mampu mengukur magnitudo gempa dan potensi tsunami secara otomatis, mengirimkan peringatan melalui radio, televisi, pesan teks, hingga sirene di daerah pesisir hanya dalam hitungan detik. Disamping itu, dibangun sistem peringatan dini berbasis satelit, dan menyelenggarakan edukasi kepada masyarakat.
Namun, Jepang tidak hanya bergantung pada teknologi. Edukasi dan latihan evakuasi menjadi prioritas, dengan pelatihan rutin bagi masyarakat di sekolah, tempat kerja, dan komunitas lokal. Contoh suksesnya adalah "Kamaishi Miracle," di mana ribuan siswa berhasil menyelamatkan diri dalam tsunami 2011 berkat edukasi dini dan respon cepat.
Di tingkat tata kota, Jepang menerapkan rencana berbasis risiko, termasuk relokasi permukiman ke area tinggi, zona hijau berupa hutan bakau, serta standar bangunan tahan gempa dan tsunami. Selain itu, dalam pemulihan pascabencana, Jepang mengalokasikan 16 triliun yen untuk rekonstruksi infrastruktur, dukungan psikologis bagi korban, dan pengembangan teknologi mitigasi baru seperti DART dan simulasi berbasis AI. Jepang juga aktif dalam kerja sama internasional, berbagi keahlian melalui program seperti Asia-Pacific Tsunami Warning and Mitigation System (PTWS).
Bagi Indonesia, langkah-langkah ini menjadi cerminan penting untuk membangun sistem mitigasi risiko yang tidak hanya tangguh secara teknologi tetapi juga melibatkan edukasi masyarakat dan perencanaan berbasis risiko. Seperti pepatah Jepang, "Nana korobi, ya oki" — kesiapan bencana adalah tentang bangkit lebih kuat dari setiap tantangan.
Di sini lah tantangannya bagi Jakarta dan sekitarnya. Â Investasi dalam teknologi deteksi dini, perencanaan tata kota berbasis risiko, dan edukasi publik menjadi mutlak bagi kota megapolitan ini. Namun, semua itu membutuhkan komitmen yang konkrit dan segera, sebelum semua terlambat.
Â
Refleksi: Menjaga Keseimbangan
"Manusia harus menghormati alam seperti menghormati dirinya sendiri," kata Rachel Carson, seorang ilmuwan lingkungan yang terkenal dengan buku Silent Spring (1962), yang memulai gerakan lingkungan modern. Ketidakpedulian kita terhadap lingkungan telah memperbesar risiko bencana. Penebangan hutan mangrove di pantai utara Jakarta untuk kepentingan reklamasi, seperti dilansir dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023), telah menghapus salah satu pelindung alami dari tsunami .Â
Setiap ancaman adalah pelajaran. Jika tsunami datang, Jakarta bukan hanya akan dihantam gelombang air, tetapi juga gelombang penghakiman atas cara kita memperlakukan bumi. Seperti yang pernah diucapkan oleh Greta Thunberg, aktivis lingkungan muda yang memulai gerakan iklim global, "You are never too small to make a difference." Ucapannya, yang disampaikan pada pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018, mengingatkan bahwa aksi kecil perubahan positif yang konsisten dapat membawa perubahan besar. Karena setiap tindakan manusia di bumi, akan berpengaruh kepada alam.