“Hoping for the best, but preparing for the worst”
Pepatah bijak ini sering digunakan dalam konteks manajemen risiko dan pertama kali dipopulerkan oleh John Jay, seorang diplomat dan negarawan Amerika di era Revolusi Amerika (1745–1829). Peringatan ini seolah menjadi nasihat bagi Jakarta, kota yang kini harus menghadapi ancaman megathrust Selat Sunda.
Data dari Global Navigation Satellite System (GNSS) menunjukkan akumulasi energi di Megathrust Selat Sunda mencapai tingkat kritis. Menurut BMKG (2025), jika terjadi gempa berkekuatan 8,7 hingga 9,0 magnitudo, tsunami setinggi 20 meter dapat menghantam pesisir Banten dan Lampung. Untuk Jakarta, gelombang yang diprediksi setinggi 1 hingga 1,5 meter mungkin terlihat kecil, namun dengan kepadatan penduduk yang mencapai 10.611 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2024), dampaknya bisa menjadi bencana besar. Sebagai perbandingan, menurut United Nations Office for Disaster Risk Reduction, 2005, tsunami di Aceh pada 2004 yang disebabkan gempa berkekuatan 9,1 magnitudo menewaskan lebih dari 230.000 jiwa. Gelombangnya melanda dengan ketinggian hingga 30 meter di beberapa wilayah pesisir.
Belajar dari Sejarah: Kasus Erupsi Krakatau 1883
Pada 27 Agustus 1883, erupsi Gunung Krakatau memicu tsunami setinggi 42 meter yang menewaskan lebih dari 36.000 orang di pesisir Jawa dan Sumatra (Sumber: National Oceanic and Atmospheric Administration, 2023). Gelombang ini bahkan mencapai pelabuhan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), meskipun dampaknya tidak separah di wilayah lain.
Namun, beda era, beda risiko. Jakarta modern, dengan populasi 11 juta jiwa di siang hari dan 10 juta jiwa pada malam hari, menghadapi tantangan besar. Bayangkan kepanikan yang terjadi jika peringatan dini tidak memadai atau masyarakat tidak teredukasi untuk evakuasi.
Kesiapan dan Tantangan
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa hanya 30% daerah pesisir di Indonesia yang memiliki jalur evakuasi tsunami (Sumber: BNPB, 2024). Di Jakarta, upaya mitigasi terbentur oleh keterbatasan ruang terbuka dan infrastruktur padat. Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), atau "Giant Sea Wall Jakarta," yang digadang-gadang menjadi solusi banjir rob, belum dirancang untuk menghadapi tsunami (Sumber: Kementerian PUPR, 2024). Sebaliknya, proyek ini justru berpotensi memperparah dampak tsunami dengan memerangkap air di dalam kota.
Belajar dari Jepang