Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perjalanan Waktu dan Cermin Retak Tahun Baru

31 Desember 2024   19:02 Diperbarui: 31 Desember 2024   18:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun baru selalu tiba seperti tamu tak diundang—datang tanpa permisi, membawa harapan dan kecemasan dalam koper yang sama. Malam pergantian tahun adalah jeda sesaat, tempat kita berhenti untuk melihat ke belakang sebelum kembali menatap ke depan. Sebagaimana dikatakan T.S. Eliot, "For last year's words belong to last year's language. And next year's words await another voice." Namun, apakah suara baru itu akan menyuarakan harmoni, atau sekadar gema dari kekacauan lama?

Pergantian tahun 2024 ke 2025 datang dengan bebannya sendiri. Dunia bergulat dengan perubahan yang tak henti; teknologi merangsek maju seperti aliran sungai deras, sementara moralitas tertatih-tatih mengejarnya. Dari sidang COP29 yang kembali mengangkat janji manis untuk bumi yang lebih hijau, hingga kegaduhan politik domestik yang tak pernah sepi. Kita hidup dalam paradoks: kecepatan melaju, tetapi kemanusiaan tampak diam di tempat.

Tahun baru, bagi sebagian orang, adalah halaman kosong. Namun, seperti yang dikatakan Milan Kundera, "Man lives his life as if he were writing it, but the truth is, he lives it as if he were reading it." Tahun baru lebih sering menjadi pembacaan ulang kesalahan lama, diwarnai resolusi yang membeku di udara Januari. Apa gunanya kalender baru jika kita masih terjebak dalam pola pikir usang?

Indonesia sendiri, pada pergantian tahun ini, seperti cermin retak. Di satu sisi, kita dipenuhi janji pembangunan—IKN yang masih menjadi utopia atau PR besar reformasi birokrasi yang belum tuntas. Di sisi lain, kita melihat garis-garis gelap kemiskinan yang tak kunjung sirna, korupsi yang menjelma menjadi bayang-bayang tak kasatmata. Tahun baru, bagi bangsa ini, bukan hanya soal pesta kembang api. Ia adalah cermin yang menuntut kita menatap retakannya.

Namun, dalam kegelapan, selalu ada secercah cahaya. Perubahan, sekecil apa pun, membutuhkan keberanian. Albert Camus berkata, "In the midst of winter, I found there was, within me, an invincible summer." Harapan adalah musim panas itu, sesuatu yang tidak dapat direbut oleh waktu atau realitas pahit. Tahun baru adalah peluang untuk membangun kembali, bukan sekadar merayakan.

Maka, saat kita berdiri di ujung 2024, mari kita renungkan: Apakah tahun depan akan menjadi perjalanan baru, atau hanya pengulangan bab lama? Apakah kita akan berani melangkah keluar dari lingkaran kebiasaan buruk? Harapan bukan sekadar bunga tidur, ia adalah bahan bakar yang menuntut tindakan nyata.

Di balik pesta dan resolusi, ada satu pertanyaan sederhana: Apakah kita akan menjadi lebih baik, atau hanya bertambah tua? Tahun baru bukan sekadar angka, ia adalah ruang untuk memulai ulang. Seperti kata Paulo Coelho, "One day you will wake up and there won’t be any more time to do the things you’ve always wanted. Do it now."

Selamat tahun baru. Mari kita jadikan waktu sebagai sekutu, bukan sekadar saksi bisu perjalanan kita.

Bogor, 31 Desember 2024

  • Dikdik Sadikin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun