Tahun baru selalu tiba seperti tamu tak diundang—datang tanpa permisi, membawa harapan dan kecemasan dalam koper yang sama. Malam pergantian tahun adalah jeda sesaat, tempat kita berhenti untuk melihat ke belakang sebelum kembali menatap ke depan. Sebagaimana dikatakan T.S. Eliot, "For last year's words belong to last year's language. And next year's words await another voice." Namun, apakah suara baru itu akan menyuarakan harmoni, atau sekadar gema dari kekacauan lama?
Pergantian tahun 2024 ke 2025 datang dengan bebannya sendiri. Dunia bergulat dengan perubahan yang tak henti; teknologi merangsek maju seperti aliran sungai deras, sementara moralitas tertatih-tatih mengejarnya. Dari sidang COP29 yang kembali mengangkat janji manis untuk bumi yang lebih hijau, hingga kegaduhan politik domestik yang tak pernah sepi. Kita hidup dalam paradoks: kecepatan melaju, tetapi kemanusiaan tampak diam di tempat.
Tahun baru, bagi sebagian orang, adalah halaman kosong. Namun, seperti yang dikatakan Milan Kundera, "Man lives his life as if he were writing it, but the truth is, he lives it as if he were reading it." Tahun baru lebih sering menjadi pembacaan ulang kesalahan lama, diwarnai resolusi yang membeku di udara Januari. Apa gunanya kalender baru jika kita masih terjebak dalam pola pikir usang?
Indonesia sendiri, pada pergantian tahun ini, seperti cermin retak. Di satu sisi, kita dipenuhi janji pembangunan—IKN yang masih menjadi utopia atau PR besar reformasi birokrasi yang belum tuntas. Di sisi lain, kita melihat garis-garis gelap kemiskinan yang tak kunjung sirna, korupsi yang menjelma menjadi bayang-bayang tak kasatmata. Tahun baru, bagi bangsa ini, bukan hanya soal pesta kembang api. Ia adalah cermin yang menuntut kita menatap retakannya.
Namun, dalam kegelapan, selalu ada secercah cahaya. Perubahan, sekecil apa pun, membutuhkan keberanian. Albert Camus berkata, "In the midst of winter, I found there was, within me, an invincible summer." Harapan adalah musim panas itu, sesuatu yang tidak dapat direbut oleh waktu atau realitas pahit. Tahun baru adalah peluang untuk membangun kembali, bukan sekadar merayakan.
Maka, saat kita berdiri di ujung 2024, mari kita renungkan: Apakah tahun depan akan menjadi perjalanan baru, atau hanya pengulangan bab lama? Apakah kita akan berani melangkah keluar dari lingkaran kebiasaan buruk? Harapan bukan sekadar bunga tidur, ia adalah bahan bakar yang menuntut tindakan nyata.
Di balik pesta dan resolusi, ada satu pertanyaan sederhana: Apakah kita akan menjadi lebih baik, atau hanya bertambah tua? Tahun baru bukan sekadar angka, ia adalah ruang untuk memulai ulang. Seperti kata Paulo Coelho, "One day you will wake up and there won’t be any more time to do the things you’ve always wanted. Do it now."
Selamat tahun baru. Mari kita jadikan waktu sebagai sekutu, bukan sekadar saksi bisu perjalanan kita.
Bogor, 31 Desember 2024
- Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H