Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Digitalisasi dan Harapan Indonesia Emas 2045

30 Desember 2024   10:44 Diperbarui: 30 Desember 2024   10:44 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah gelombang digital yang mengalir deras, generasi muda Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Mereka adalah prajurit tanpa senjata dalam revolusi teknologi, menyandang mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045. Namun, sejauh mana mereka siap mengarungi samudra inovasi? Pertanyaan itu menjadi relevan saat kita berbicara tentang peran mereka dalam membangun bangsa melalui teknologi.

Kita teringat pada sebuah metafora klasik: Prometheus yang mencuri api dari para dewa untuk diberikan kepada manusia. Teknologi hari ini adalah api modern, dan generasi muda adalah Prometheus yang baru. Namun, seperti Prometheus yang dirantai oleh Zeus, generasi ini juga terbelenggu oleh tantangan yang tidak sederhana. Pendidikan yang belum merata, akses internet yang timpang, dan keterampilan digital yang sering kali tidak setara dengan kebutuhan industri menjadi rantai-rantai yang harus mereka patahkan.


Pendidikan dan Peluang

Laporan Bank Dunia 2023 menunjukkan bahwa tingkat literasi digital Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5. Di kawasan ASEAN, posisi ini membuat kita tertinggal dari Singapura (4,79) dan Malaysia (4,35). Namun, di sisi lain, Indonesia memiliki bonus demografi: 70% dari populasi produktif pada tahun 2030 adalah generasi muda. Dengan 204 juta pengguna internet (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2024), peluang untuk menciptakan inovasi berbasis teknologi terbuka lebar.

Pendidikan adalah kunci. Di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, kurikulum berbasis teknologi telah menjadi pilar utama sejak dekade lalu. Pelajaran tentang coding dan kecerdasan buatan diajarkan sejak usia sekolah dasar. Bandingkan dengan Indonesia, di mana hanya 35% sekolah yang memiliki akses internet memadai (BPS, 2024).

Namun, harapan tetap ada. Program seperti "Indonesia Digital Talent Scholarship" yang diluncurkan oleh Kementerian Kominfo menjadi secercah cahaya. Pada tahun 2023, program ini telah melatih 60 ribu talenta muda di bidang teknologi informasi. Pertanyaannya adalah, apakah angka ini cukup untuk menjawab tantangan yang ada?


Tantangan di Era Digital

Generasi muda juga menghadapi dilema moral. Teknologi adalah pedang bermata dua. Kita bisa belajar dari kasus penyalahgunaan data pribadi di India pada tahun 2020, di mana aplikasi e-commerce besar terlibat dalam pelanggaran privasi jutaan pengguna. Di Indonesia, ancaman semacam ini tidak bisa diabaikan. Laporan Cybersecurity Ventures memprediksi bahwa kerugian akibat kejahatan siber global akan mencapai USD 10,5 triliun pada tahun 2025. Indonesia sendiri mencatat 1,3 juta serangan siber pada semester pertama 2024 (BSSN).

Selain itu, ada tantangan besar dalam menyelaraskan teknologi dengan nilai-nilai lokal. Apakah teknologi dapat digunakan untuk memperkuat identitas bangsa, atau justru menggerusnya?  Teknologi yang kita gunakan hari ini akan menentukan siapa kita esok.


Mengintip Masa Depan

Pada tahun 2045, ketika Indonesia genap berusia 100 tahun, visi Indonesia Emas akan diuji. Bisakah generasi muda mengubah visi ini menjadi kenyataan? Untuk itu, kolaborasi menjadi kunci. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bersama-sama menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi. Di Estonia, misalnya, kolaborasi ini telah melahirkan e-Residency, sebuah sistem pemerintahan berbasis teknologi yang mempermudah akses layanan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun