Media sosial, dengan segala kilau dan gemerlapnya, adalah pasar malam tanpa akhir. Di sana, manusia menjajakan citra, membentuk narasi, dan merajut eksistensi dalam bentuk unggahan-unggahan yang seolah abadi. Namun, seperti yang dikatakan Jean Baudrillard, "Kita hidup dalam dunia di mana yang nyata hanya hadir dalam representasi." Dalam dunia media sosial, representasi inilah yang sering kali lebih mencolok daripada kenyataan.
Ada ironi yang mendalam di balik layar ponsel yang terang benderang. Satu jempol yang meluncur cepat di layar dapat membawa rasa bahagia yang sesaat, tetapi juga membangkitkan iri, kecemasan, bahkan depresi. Penelitian dari We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata orang menghabiskan 2 jam 31 menit per hari di media sosial. Angka ini melonjak hingga 4 jam untuk remaja di beberapa negara, termasuk Indonesia. Lebih dari 60% remaja di AS melaporkan bahwa media sosial membuat mereka merasa tidak puas dengan tubuh mereka, menurut laporan Pew Research Center.
Sigmund Freud pernah mengatakan bahwa manusia selalu berada dalam konflik antara keinginan untuk diterima dan ketakutan akan ditolak. Media sosial memperparah konflik ini dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketika notifikasi "like" tidak datang sebanyak yang diharapkan, atau ketika komentar negatif menyelinap masuk ke ruang digital kita, luka yang dirasakan sering kali lebih nyata daripada yang terlihat. Di Korea Selatan, kasus cyberbullying yang menimpa selebriti seperti Sulli dan Goo Hara menunjukkan betapa fatal dampak tekanan media sosial. Kedua selebriti tersebut mengakhiri hidup mereka setelah bertahun-tahun menjadi target komentar kebencian di dunia maya.
Generasi yang tumbuh dengan media sosial sebagai teman setianya, sering kali kehilangan waktu untuk mengenal dirinya sendiri. Alan Watts, seorang filsuf Inggris, berkata, "Semakin kita mencoba mendefinisikan diri kita, semakin kita kehilangan makna dari keberadaan kita." Namun, media sosial justru mendorong kita untuk terus-menerus mendefinisikan diri --- dalam foto, status, atau video --- demi memuaskan standar yang kita sendiri tidak pahami. Dalam proses ini, kita mungkin kehilangan koneksi dengan apa yang sebenarnya kita butuhkan: ketenangan, kesederhanaan, dan kehadiran.
Namun, tidak adil jika media sosial sepenuhnya dijadikan kambing hitam. Ia hanyalah alat, sebuah cermin dari masyarakat kita sendiri. Di satu sisi, ia menawarkan ruang untuk bersuara, solidaritas, dan komunitas. Gerakan sosial seperti #MeToo dan #BlackLivesMatter lahir dan tumbuh subur di platform ini. Di sisi lain, ia juga memproduksi toksisitas yang tidak terkontrol. Data dari WHO menyebutkan bahwa depresi adalah salah satu masalah kesehatan mental terbesar di dunia, dengan lebih dari 280 juta orang terdampak. Media sosial, meski bukan penyebab utama, sering kali menjadi pemicu yang memperburuk gejala pada individu yang rentan.
Upaya menjaga kesehatan mental dalam era media sosial memerlukan kesadaran dan keberanian. Seperti yang dikatakan oleh Viktor Frankl, "Antara stimulus dan respons, ada ruang. Dalam ruang itu terletak kebebasan kita untuk memilih respons kita. Dalam respons kita terletak pertumbuhan dan kebahagiaan kita." Dengan kata lain, kita tidak harus tunduk pada stimulus media sosial. Kita bisa memilih untuk berhenti, merefleksikan, dan menyaring apa yang benar-benar penting.
Mungkin yang kita butuhkan adalah jeda. Jeda untuk mematikan notifikasi, untuk duduk bersama keluarga tanpa layar, atau untuk membaca buku yang halaman-halamannya tidak bisa di"scroll." Jeda untuk mengingat bahwa nilai diri kita tidak diukur oleh jumlah pengikut atau komentar. Jeda untuk kembali menjadi manusia, bukan sekadar pengguna.
Media sosial adalah pisau bermata dua. Ia dapat menyelamatkan, tetapi juga dapat melukai. Di Indonesia, misalnya, kasus yang menimpa Audrey, seorang siswi SMP di Kalimantan Barat, menjadi contoh nyata bagaimana konflik yang dipicu di media sosial dapat berujung pada kekerasan fisik. Dalam dunia yang semakin bising ini, tugas kita adalah menemukan harmoni, menjaga kesehatan mental kita seperti menjaga nyala lilin di tengah badai. Seperti kata Rumi, "Jangan tergesa-gesa, karena di setiap langkah ada kehidupan yang menunggu untuk ditemukan."