Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas (“Soekarno, Mahathir dan Megawati”, 3 November 2003, dan terakhir “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan”, Kompas 9 Oktober 2024). Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Soft Tourism: Berwisata Sembari Menjaga Alam

17 Desember 2024   15:04 Diperbarui: 18 Desember 2024   08:56 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soft Tourism di pantai (Sumber: Image Creator, Bing)

Di sebuah pagi yang tenang, bayangkan Anda berdiri di kaki bukit yang hijau. Udara masih segar, dan embun belum sempat tersapu sinar matahari. Tidak ada keramaian, tidak ada hiruk-pikuk wisatawan yang berlomba mengambil foto untuk sekadar unggahan. Hanya suara dedaunan yang berbisik pelan, seolah menyapa langkah ringan Anda. Beginilah soft tourism bekerja—perjalanan yang tak meninggalkan kebisingan, apalagi luka pada alam.

"Soft tourism" adalah antitesis dari pariwisata massal yang gemerlap. Ia mengajak kita berjalan pelan, meninggalkan jejak yang lebih ringan, dan lebih banyak mendengar daripada berbicara. Greta Thunberg, ikon perjuangan iklim generasi, pernah berkata, “Kita tidak bisa terus berbicara tentang keberlanjutan sambil hidup seperti tidak ada batas.” Soft tourism adalah upaya menjembatani jurang itu—antara cinta akan perjalanan dan tanggung jawab untuk melindungi bumi.

Pariwisata yang Melukai dan Menyembuhkan

Pariwisata global menyumbang 8% dari emisi karbon dunia, menurut sebuah laporan Nature Climate Change (2022). Penerbangan murah, kapal pesiar raksasa, dan resor mewah yang menyedot energi menjadi penyebab utama. Di Indonesia, keindahan Bali menjadi paradoks: pulau itu menjadi tujuan wisata nomor satu, tetapi juga menghadapi krisis sampah dan air bersih akibat lonjakan turis.

Di sinilah soft tourism hadir sebagai alternatif. Ia mengubah "berwisata" menjadi "berinteraksi." Bukan sekadar mengunjungi tempat, tetapi memahami dan merawatnya. Dalam filosofi ini, wisatawan adalah tamu yang berterima kasih, bukan penguasa yang menuntut. Seperti yang pernah dikatakan penyair modern Amanda Gorman, “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita; kita meminjamnya dari anak cucu kita.”

Tren Baru, Harapan Baru

Tren ini mulai meresap ke industri. Destinasi seperti Bhutan telah lama menerapkan pariwisata berbasis keberlanjutan. Negara kecil di Himalaya ini membatasi jumlah turis dengan "biaya pembangunan berkelanjutan" hingga $200 per hari. Strategi ini tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memastikan ekonomi lokal mendapatkan manfaat langsung.

Di Eropa, tren perjalanan dengan kereta api semakin populer. Wisatawan memilih perjalanan lambat melalui rel, menggantikan penerbangan singkat yang penuh polusi. Platform seperti Interrail menawarkan pengalaman melintasi 33 negara dengan kereta, mengajak wisatawan melihat dunia dengan tempo yang lebih manusiawi.

Indonesia mulai melangkah ke arah serupa. Tren eco-village seperti Kampung Naga di Tasikmalaya atau Desa Penglipuran di Bali menggabungkan pariwisata dengan pelestarian budaya lokal. Pemerintah pun meluncurkan program desa wisata berbasis ekologi yang menjadikan wisatawan bagian dari upaya konservasi. Namun, tantangan besar tetap ada: bagaimana menjadikan tren ini arus utama, bukan hanya segmen kecil yang elitis?

Dari Konsumsi ke Kontemplasi

Soft tourism tidak hanya mengubah cara kita bepergian, tetapi juga tujuan perjalanan itu sendiri. Dalam pariwisata tradisional, kita mengonsumsi: pemandangan, makanan, dan pengalaman. Dalam soft tourism, perjalanan adalah kontemplasi. Kita diajak merenungkan hubungan kita dengan alam dan komunitas yang kita kunjungi.

Di era ini, generasi muda menjadi penggerak utama. Survei Booking.com (2023) menemukan bahwa 73% wisatawan Gen Z ingin perjalanannya berdampak positif bagi lingkungan. Ini adalah generasi yang lebih memilih tenda di bawah langit berbintang daripada kamar hotel mewah dengan kolam renang yang menguras air. Mereka tidak hanya ingin "pergi," tetapi juga "kembali"—dengan hati yang lebih ringan dan pemahaman yang lebih dalam.

Jejak yang Tak Terlihat

Namun, ada ironi besar dalam perjalanan ini. Setiap langkah menuju keberlanjutan sering kali membawa tantangan baru. Wisata ramah lingkungan kerap lebih mahal, sehingga menjadi privilese segelintir orang. Bahkan, penerbangan langsung untuk tujuan wisata ramah lingkungan tetap menghasilkan emisi karbon. Seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari, “Manusia adalah makhluk kontradiksi: kita menciptakan mimpi yang indah, tetapi juga membangun neraka di atas jalan menuju mimpi itu.”

Tetapi harapan selalu ada. Soft tourism mengajarkan bahwa perjalanan tidak harus merusak. Bahwa keindahan tidak harus dibayar dengan kehancuran. Dunia, seperti perjalanan itu sendiri, adalah tentang pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari.

Di akhir perjalanan, kita mungkin tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki. Tapi jejak itu pun harus dipertimbangkan: apakah ia hanya sementara, ataukah ia akan tetap terasa, mengubah bumi sedikit demi sedikit? Seperti yang pernah dikatakan Brandon Stanton, pencipta Humans of New York, “Kisah terbaik tidak ditemukan dalam pemandangan yang kita lihat, tetapi dalam cara kita melihatnya.”

Maka, mari berjalan dengan hati-hati. Dengan kesadaran bahwa kita adalah bagian kecil dari dunia yang besar. Dalam setiap perjalanan, mari tinggalkan jejak yang tak terlihat—jejak yang bukan merusak, tetapi menyembuhkan. 

Jakarta, 17 Desember 2024

  • Dikdik Sadikin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun