Soft tourism tidak hanya mengubah cara kita bepergian, tetapi juga tujuan perjalanan itu sendiri. Dalam pariwisata tradisional, kita mengonsumsi: pemandangan, makanan, dan pengalaman. Dalam soft tourism, perjalanan adalah kontemplasi. Kita diajak merenungkan hubungan kita dengan alam dan komunitas yang kita kunjungi.
Di era ini, generasi muda menjadi penggerak utama. Survei Booking.com (2023) menemukan bahwa 73% wisatawan Gen Z ingin perjalanannya berdampak positif bagi lingkungan. Ini adalah generasi yang lebih memilih tenda di bawah langit berbintang daripada kamar hotel mewah dengan kolam renang yang menguras air. Mereka tidak hanya ingin "pergi," tetapi juga "kembali"—dengan hati yang lebih ringan dan pemahaman yang lebih dalam.
Jejak yang Tak Terlihat
Namun, ada ironi besar dalam perjalanan ini. Setiap langkah menuju keberlanjutan sering kali membawa tantangan baru. Wisata ramah lingkungan kerap lebih mahal, sehingga menjadi privilese segelintir orang. Bahkan, penerbangan langsung untuk tujuan wisata ramah lingkungan tetap menghasilkan emisi karbon. Seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari, “Manusia adalah makhluk kontradiksi: kita menciptakan mimpi yang indah, tetapi juga membangun neraka di atas jalan menuju mimpi itu.”
Tetapi harapan selalu ada. Soft tourism mengajarkan bahwa perjalanan tidak harus merusak. Bahwa keindahan tidak harus dibayar dengan kehancuran. Dunia, seperti perjalanan itu sendiri, adalah tentang pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari.
Di akhir perjalanan, kita mungkin tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki. Tapi jejak itu pun harus dipertimbangkan: apakah ia hanya sementara, ataukah ia akan tetap terasa, mengubah bumi sedikit demi sedikit? Seperti yang pernah dikatakan Brandon Stanton, pencipta Humans of New York, “Kisah terbaik tidak ditemukan dalam pemandangan yang kita lihat, tetapi dalam cara kita melihatnya.”
Maka, mari berjalan dengan hati-hati. Dengan kesadaran bahwa kita adalah bagian kecil dari dunia yang besar. Dalam setiap perjalanan, mari tinggalkan jejak yang tak terlihat—jejak yang bukan merusak, tetapi menyembuhkan.
Jakarta, 17 Desember 2024
- Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H