Di sebuah pagi yang tenang, bayangkan Anda berdiri di kaki bukit yang hijau. Udara masih segar, dan embun belum sempat tersapu sinar matahari. Tidak ada keramaian, tidak ada hiruk-pikuk wisatawan yang berlomba mengambil foto untuk sekadar unggahan. Hanya suara dedaunan yang berbisik pelan, seolah menyapa langkah ringan Anda. Beginilah soft tourism bekerja—perjalanan yang tak meninggalkan kebisingan, apalagi luka pada alam.
"Soft tourism" adalah antitesis dari pariwisata massal yang gemerlap. Ia mengajak kita berjalan pelan, meninggalkan jejak yang lebih ringan, dan lebih banyak mendengar daripada berbicara. Greta Thunberg, ikon perjuangan iklim generasi, pernah berkata, “Kita tidak bisa terus berbicara tentang keberlanjutan sambil hidup seperti tidak ada batas.” Soft tourism adalah upaya menjembatani jurang itu—antara cinta akan perjalanan dan tanggung jawab untuk melindungi bumi.
Pariwisata yang Melukai dan Menyembuhkan
Pariwisata global menyumbang 8% dari emisi karbon dunia, menurut sebuah laporan Nature Climate Change (2022). Penerbangan murah, kapal pesiar raksasa, dan resor mewah yang menyedot energi menjadi penyebab utama. Di Indonesia, keindahan Bali menjadi paradoks: pulau itu menjadi tujuan wisata nomor satu, tetapi juga menghadapi krisis sampah dan air bersih akibat lonjakan turis.
Di sinilah soft tourism hadir sebagai alternatif. Ia mengubah "berwisata" menjadi "berinteraksi." Bukan sekadar mengunjungi tempat, tetapi memahami dan merawatnya. Dalam filosofi ini, wisatawan adalah tamu yang berterima kasih, bukan penguasa yang menuntut. Seperti yang pernah dikatakan penyair modern Amanda Gorman, “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita; kita meminjamnya dari anak cucu kita.”
Tren Baru, Harapan Baru
Tren ini mulai meresap ke industri. Destinasi seperti Bhutan telah lama menerapkan pariwisata berbasis keberlanjutan. Negara kecil di Himalaya ini membatasi jumlah turis dengan "biaya pembangunan berkelanjutan" hingga $200 per hari. Strategi ini tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memastikan ekonomi lokal mendapatkan manfaat langsung.
Di Eropa, tren perjalanan dengan kereta api semakin populer. Wisatawan memilih perjalanan lambat melalui rel, menggantikan penerbangan singkat yang penuh polusi. Platform seperti Interrail menawarkan pengalaman melintasi 33 negara dengan kereta, mengajak wisatawan melihat dunia dengan tempo yang lebih manusiawi.
Indonesia mulai melangkah ke arah serupa. Tren eco-village seperti Kampung Naga di Tasikmalaya atau Desa Penglipuran di Bali menggabungkan pariwisata dengan pelestarian budaya lokal. Pemerintah pun meluncurkan program desa wisata berbasis ekologi yang menjadikan wisatawan bagian dari upaya konservasi. Namun, tantangan besar tetap ada: bagaimana menjadikan tren ini arus utama, bukan hanya segmen kecil yang elitis?
Dari Konsumsi ke Kontemplasi