Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas (“Soekarno, Mahathir dan Megawati”, 3 November 2003, dan terakhir “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan”, Kompas 9 Oktober 2024). Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengawal Program Makan Siang Bergizi Gratis

11 Desember 2024   12:59 Diperbarui: 11 Desember 2024   13:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kemakmuran adalah tujuan kita. Tetapi, tidak ada gunanya pertumbuhan yang tinggi jika mayoritas rakyat tidak dapat menikmatinya. Jika kekayaan hanya dimiliki oleh sangat segelintir orang, itu adalah resep untuk negara yang gagal," ujar Presiden Prabowo Subianto di hadapan forum internasional di Rio de Janeiro, Brasil, Ahad, 17 November 2024. Di latar ombak tenang Copacabana, ia menyampaikan gagasan sederhana namun mendalam: memberi makan rakyat. Ungkapan itu mengingatkan pada kata-kata Mahatma Gandhi, "To a hungry man, a piece of bread is the face of God."  

Gagasan Presiden menyentuh persoalan mendasar yang mengancam mimpi Indonesia Emas 2045: gizi buruk dan malnutrisi. Revolusi makan bergizi ini bukan hanya sekadar memberi makan, tetapi juga membangun generasi yang sehat, cerdas, dan kuat. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan bahwa angka stunting mencapai 21,6%. Meski menurun dari 24,4% pada 2021, angka itu masih jauh dari target 14% pada 2024. Selain itu, 18,5% bayi dilahirkan dengan panjang badan kurang dari 48 cm, menandakan pentingnya pemenuhan gizi sejak kehamilan. Lebih ironis lagi, risiko stunting melonjak dari 13,7% pada kelompok usia 6-11 bulan menjadi 22,4% pada usia 12-23 bulan. 

Namun, stunting hanyalah awal dari masalah. Setelah anak melewati usia dua tahun, kebutuhan gizi mereka tetap menjadi faktor kunci. Anak-anak usia PAUD hingga SMA memerlukan asupan gizi yang cukup untuk mendukung perkembangan kognitif dan fisik. Di Indonesia, prevalensi anemia---salah satu indikator malnutrisi---mencapai 26,8% pada anak usia sekolah (Kementerian Kesehatan, 2023). Kekurangan zat besi yang menjadi penyebab utama anemia sebenarnya dapat dicegah melalui pola makan bergizi.

Tantangan geografis Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulau juga menjadi pekerjaan besar. Bagaimana memastikan makanan bergizi tiba tepat waktu di Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Pulau Rote tanpa terhambat infrastruktur yang minim? Belum lagi kekurangan 40.000 kapal penangkap ikan, yang menjadi ironi di negara dengan cadangan perikanan terbesar kedua atau ketiga di dunia. Tanpa penguatan produksi lokal, ketergantungan pada impor bahan pangan hanya akan menambah beban anggaran negara. 

Dalam konteks ini, program makan bergizi gratis menjadi salah satu inisiatif yang vital dan berskala besar. Dengan target 15-20 juta anak di 82 titik, mencakup anak usia sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, maka anggaran pun melonjak tinggi sebesar Rp71 triliun untuk tahun 2025. Jumlah ini menjadikannya salah satu belanja negara terbesar di sektor sosial. Sebagai perbandingan, anggaran Program Indonesia Pintar (PIP) pada 2023 hanya Rp9,6 triliun untuk mencakup 17 juta siswa.

Anggaran besar ini pun memunculkan beberapa tantangan dalam memitigasi risiko yang mengikutinya. Tantangan yang paling besar adalah korupsi. Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 oleh Transparency International. Program bantuan sosial seperti ini rentan diselewengkan, sebagaimana yang terjadi pada dana bantuan sosial pandemi COVID-19. Untuk itu, transparansi pengelolaan dana harus menjadi prioritas utama. 

Di sisi lain, keterlibatan pemerintah daerah, koperasi petani lokal, dan UMKM dapat menjadi kunci keberhasilan, sebagaimana yang dilakukan Rwanda melalui Home Grown School Feeding (HGSF). 

Brasil, tempat inspirasi program ini, telah meluncurkan Bolsa Famlia, yang menurunkan angka kemiskinan hingga 4 persen dalam satu dekade. Di Amerika Serikat, National School Lunch Program (NSLP) memberikan makanan bergizi kepada 30 juta siswa setiap harinya dengan anggaran tahunan lebih dari USD 14 miliar. Inggris memiliki Universal Infant Free School Meals, yang menyasar anak usia 4-7 tahun. Kesamaan dari semua program ini adalah pengawasan yang ketat dan basis data penerima manfaat yang terintegrasi.

Dengan biaya yang tidak sedikit itu, maka efektivitas Program Makanan Bergizi Gratis ini harus diukur melalui indikator keberhasilan yang jelas: menurunnya prevalensi stunting, berkurangnya angka anemia, peningkatan angka partisipasi pendidikan, serta naiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari angka saat ini, yaitu 72,1. Tanpa ukuran yang jelas, pengawasan yang aktif, dengan target waktu yang termonitor, program ini memiliki risiko penghamburan keuangan negara tanpa hasil memadai. 

Jika program ini berhasil, Prabowo akan dikenang sebagai pemimpin yang mampu mengubah secercah harapan menjadi kenyataan. Namun, jika gagal, ia hanya akan menjadi kisah lain tentang ambisi besar yang karam di lautan birokrasi dan korupsi. Sebagaimana pepatah Brasil berbunyi, "Esperana o alimento da alma, mas uma boa gesto o alimento do povo"---harapan adalah makanan bagi jiwa, tetapi pengelolaan yang baik adalah makanan bagi rakyat. 

Lebih dari sekadar upaya memberi makan, revolusi di atas sepiring nasi dan lauk bergizi ini terkandung misi masa depan bangsa yang sedang dipertaruhkan dan harus kita kawal dengan serius. Dengan atau tanpa tepuk tangan di panggung internasional, sejarah akan menilai apakah kita benar-benar memberi makan anak-anak kita, atau sekadar memberi makan birokrasi. 

Jakarta, 19 November 2024

  • Dikdik Sadikin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun