Mohon tunggu...
Andhika Pradityo
Andhika Pradityo Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa yg suka nulis dan otomotif. penggila muscle car dan mobil2 Amerika lainnya..seorang freelance writer...lg selesein tesis, sama lagi bikin novel horror :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ilusi

29 April 2012   05:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“DUARRRRRR!” bom meledak dengan suara keras. Irwan merasa tubuhnya sangat ringan sekali. Ia melihat tubuhnya sendiri tergeletak hancur berantakan. Tiba-tiba ia merasa sedih sekali. Sedih melihat tubuhnya seperti itu. Hancur. Ia melihat keadaan sekelilingnya. Hancur berantakan juga. Terdengar suara jeritan beberapa orang yang terluka. Terdengar suara alarm mobil yang diparkir di depan restoran yang meledak.

Entah eknapa, ia merasa menyesal. Menyesal karena telah melakukan ini semua. Melakukan hal yang amat sangat bodoh. Apa ini benar jihad? Ada sesuatu yang aneh di sini. Tiba-tiba ia merasa ini adalah jihad yang salah. Ia yakin sekali itu. Jihad yang benar adalah ikut perang di Irak atau Afganistan untuk membela Islam. Bukan dengan cara seperti ini. Ini cara yang salah. Ia mulai menangis. Rasa bersalah, menyesal, dan lainnya menjadi satu. Bersalah karena telah mengikuti satu ajaran islam yang sesat. Menyesal karena telah membuat orang-orang terluka dan bahkan meninggal. Dan sedih karena harus meninggalkan dunia yang fana ini. Meningalkan semuanya. Meninggalkan rumah, orang tuanya yang pasti sangat mengkhawatirkan keadaan dirinya karena sudah setahun tak ada kabar, meninggalkan teman-teman sekolah dan sepupu-sepupunya yang sangat ia sayangi.

Ia menangsi tersedu-sedu. Menyesali perbuatannya. Sayang tak ada jalan untuk berbalik. Waktu tak bisa dikembalikan lagi. Ia harus menerima hukuman dari Allah. Hukuman yang setimpal. Meskipun masih ada secercah harapan kalau tindakan yang ia lakukan ini adalah benar.

Hidup itu bagaikan berjalan di jalan tol. Kita tak bisa berputar balik untuk memperbaiki semuanya. Kita hanya bisa mengingat, menyesali, mengagumi, manyanjung, menangisi, dan memarahi apa yang telah kita atau oang lain perbuat terhadap kita. Itulah hidup. ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun