“DUARRRRRR!” bom meledak dengan suara keras. Irwan merasa tubuhnya sangat ringan sekali. Ia melihat tubuhnya sendiri tergeletak hancur berantakan. Tiba-tiba ia merasa sedih sekali. Sedih melihat tubuhnya seperti itu. Hancur. Ia melihat keadaan sekelilingnya. Hancur berantakan juga. Terdengar suara jeritan beberapa orang yang terluka. Terdengar suara alarm mobil yang diparkir di depan restoran yang meledak.
Entah eknapa, ia merasa menyesal. Menyesal karena telah melakukan ini semua. Melakukan hal yang amat sangat bodoh. Apa ini benar jihad? Ada sesuatu yang aneh di sini. Tiba-tiba ia merasa ini adalah jihad yang salah. Ia yakin sekali itu. Jihad yang benar adalah ikut perang di Irak atau Afganistan untuk membela Islam. Bukan dengan cara seperti ini. Ini cara yang salah. Ia mulai menangis. Rasa bersalah, menyesal, dan lainnya menjadi satu. Bersalah karena telah mengikuti satu ajaran islam yang sesat. Menyesal karena telah membuat orang-orang terluka dan bahkan meninggal. Dan sedih karena harus meninggalkan dunia yang fana ini. Meningalkan semuanya. Meninggalkan rumah, orang tuanya yang pasti sangat mengkhawatirkan keadaan dirinya karena sudah setahun tak ada kabar, meninggalkan teman-teman sekolah dan sepupu-sepupunya yang sangat ia sayangi.
Ia menangsi tersedu-sedu. Menyesali perbuatannya. Sayang tak ada jalan untuk berbalik. Waktu tak bisa dikembalikan lagi. Ia harus menerima hukuman dari Allah. Hukuman yang setimpal. Meskipun masih ada secercah harapan kalau tindakan yang ia lakukan ini adalah benar.
Hidup itu bagaikan berjalan di jalan tol. Kita tak bisa berputar balik untuk memperbaiki semuanya. Kita hanya bisa mengingat, menyesali, mengagumi, manyanjung, menangisi, dan memarahi apa yang telah kita atau oang lain perbuat terhadap kita. Itulah hidup. ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H