Mohon tunggu...
Andhika Pradityo
Andhika Pradityo Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa yg suka nulis dan otomotif. penggila muscle car dan mobil2 Amerika lainnya..seorang freelance writer...lg selesein tesis, sama lagi bikin novel horror :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tertunduk Malu

2 Mei 2012   04:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah pengalaman Rani Suherman. Ya, pengalamanku. Pengalaman yang sangat kelam dalam hidupku. Sebenarnya pengalaman ini terlalu kelam untuk diceritakan. Tapi aku memutuskan untuk berbagi ke kalian semua. Siapa tahu pengalamanku ini bisa memberi inspirasi bagi kalian dan orang lain.

Aku adalah orang Jawa Timur. Aku dilahirkan dan dibesarkan di Sidoarjo. Aku memutuskan untuk merantau ke Ibu Kota saat aku berumur lima belas tahun. Aku memutuskan untuk merantau bukan tanpa alasan. Aku tidak betah tinggal di rumah. Karena Ibuku sangatlah galak dan memperlakukan aku semena-mena layaknya seorang pembantu. Dari siang hari ketika aku pulang sekolah, hingga larut malam aku harus mengerjalan semua pekerjaan rumah. Tapi buatku itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika aku melakukan kesalahan, bukan nasihat yang aku terima. Tapi yang aku terima adalah kekejaman fisik dan kemarahan Ibu. Aku ditampar berkali-kali hingga pipiku merah. Aku juga terkadang dipukuli oleh Ibu dan disiram air dingin.

Aku benar-benar menderita karena sifat Ibu itu. Ibu juga jarang sekali berada di rumah. Ia sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Memang dulunya Ibu tak bersikap begitu kepadaku. Tapi semenjak Ayah meninggalkan kami, Ibu jadi labil. Mudah marah dan menjadi kasar kepadaku.

Karena tidak tahan denga sikap Ibu itu, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Tentu saja aku sudah mempersiapkan semuanya. Mulai dari ongkos hingga bekal makanan. Kejadian itu sudah dua puluh tahun berlalu.

Sesampainya di Jakarta, aku bingung karena sisa uangku hanya cukup untuk makan hari itu saja. Aku harus mencari cara agar aku bisa makan besok. Sempat terlintas untuk mencopet. Tapi aku takut ketahuan dan akan berujung petaka bagiku.

Ketika sedang berdiri sendiri di terminal, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya. Namanya Ibu Ita. Umurnya kira-kira empat puluhan.

“Kamu kenapa? Kok sendirian?” tanyanya. “Saya baru datang dari Sidoarjo, Bu,” jawabku. “Mau kerja?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Kamu mau saya kasih kerjaan?” ia menawarkan. “Boleh, Bu,” jawabku sumringah. “Pokoknya kamu bakal gampang dapet duitnya,” ia berpromosi. Setelah itu, kami saling berkenalan dan Ibu Ita membawaku ke rumahnya untuk diberi pekerjaan.

Ternyata pekerjaan yang aku dapat sangatlah mudah. Aku hanya bertugas menemani seorang pria mengobrol dengan teman-temannya (teman-teman pria itu juga ditemani oleh wanita lain yang seumuran aku). Dan bila pria yang aku temani membeli minuman, maka aku mendapat upah sebesar lima puluh ribu rupiah per botolnya. Jadi, jika ia membeli dua botol minuman, aku bisa mendapat seratus ribu rupiah! Tentu saja aku tak hanya diam menemani pria itu mengobrol. Aku juga diharuskan untuk terlibat dalam obrolan itu dan juga aku harus menawarkan ia minum.

Selama dua tahun, aku menekuni pekerjaan itu. Aku sangat tergiur sekali dengan kemudahan pekerjaan itu dan kemudahan dalam mendapatkan uang yang sangat berlimpah. Bayangkan saja dalam sehari aku bisa mendapatkan dua ratus ribu rupiah. Itu juga kalau aku hanya menemani satu pria. Kalau dalam sehari aku menemani tiga pria sekaligus, aku bisa mendapatkan enam ratus ribu rupiah! Sungguh luar biasa bagiku.

Dari hasil pekerjaanku itu, aku sudah bisa menghidupi diriku sendiri. Aku bisa kos di tempat yang lebih bagus, bisa membeli HP keluaran terbaru yang canggih dan mahal. Bahkan aku bisa menyicil motor juga. Untuk urusan makan, aku tak perlu khawatir. Karena penghasilanku sehari saja bisa untuk makan untuk beberapa hari ke depan. Sempat terlintas di pikiranku untuk mengirim sebgian penghasilanku ke Ibu di Sidoarjo. Tapi aku langsung mengurungkan niat itu. Aku takut kalau ditanya mengenai pekerjaanku. Lagi pula aku benci terhadap Ibu yang sudah memperlakukan aku semena-mena selama aku di Sidoarjo. Kalau Ibu tak seperti itu, aku sekarang pasti masih ada di rumah.

Menginjak tahun ketiga, Ibu Ita menawarkan aku pekerjaan yang lebih. Tentu dengan bayaran yang lebih tinggi juga. “Kamu harus melepas keperawanan-mu,” ujar Ibu Ita. Aku terhenyak dengan perkataan Ibu Ita. Aku bingung harus bagaimana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun