Teater sendiri sudah ada sejak dahulu, kata teater atau drama dalam bahasa Yunani “theatrom” yang berarti gerak merupakan sebuah tontonan drama yang menonjolkan unsur percakapan serta gerak gerik yang dilakukan oleh pemain di atas panggung, percakapan atau gerak gerik inilah yang dicoba untuk diwujudkan dalam sebuah naskah yang tersusun, sehingga penonton dapat menikmati jalannya cerita dalam sebuah pementasan teater. Secara etimologi teater adalah gedung pertunjukan atau Auditorium , dalam arti yang lebih sempit teater adalah drama ,kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan, Gerak maupun laku yang berdasarka naskah tersusun serta dapat ditunjang dengan dekorasi, Musik, Nyanyian bahkan tarian sekalipun. Dalam hal ini teater dapat diartikan sebagai segala tontonan yang dipertunjukan didepan orang banyak.
Keberadaan seni teater di Indonesia sudah ada sejak lama dan menjadi alur kebudayaan dalam kultur masyarakat. Namun seni-seni teater tradisional yang merupakan “anak kandung” seni pertunjukan bangsa ini malah tergerus dan hampir punah karena tidak adanya regenerasi misalnya saja lenong dari Jakarta, Ludruk dari Jawa Timur, Makyong dari Riau, Kethoprak dari Jawa Tengah, Tarling khas Cirebonan, Wayang orang dari Jawa Tengah, Reog dari Ponorogo Jawa Timur, dan lain-lain. Namun jangan berkecil hati terlebih dahulu Banten sendiri juga memiliki seni pertunjukan teater tradisional yang bernama “Ubrug” asli Banten Selatan. Kesenian ubrug adalah seni pertunjukan teater rakyat, yang menampilkan cerita/lakon, Lawakan , Tarian dan lagu. Kesenian ubrug sampai saat ini masih ada di beberapa tempat seperti Tangerang dan Lebak masyarakat disana biasa menyebut kesenian ubrug dengan sebuatan lenong yang merupakan adaptasi dari kesenian betawi. Teater–teater tradisional ini adalah ruang hiburan bagi masyarakat biasa dimana biasanya mereka mendapatkan hiburan dari para pemain kesenian pertunjukan tradisional.
Modernitas...
Seorang ahli sosiologi , Selo Soemardjan berpendapat bahwa globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama. Globalisai merupakan kecenderungan masyarakat untuk menyatu dengan dunia, terutama dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Media massa serta kulktur budaya sosial ekonomi politik. Sehingga menimbulkan dampak yang secara berkelanjutan. Efek dari perubahan globalisasi ini rupanya mulai menggerus unsur –unsur kebudayaan masyarakat terutama seni pertunjukan sehingga kurangnya pelestarian kebudayaan di masyarakat dan menimbulkan kecenderunagn untuk menyatu dengan perkembangan dunia serta merubah hakekat intensi kultural.
Bagi beberapa masyarakat modern pola pikir untuk melestarikan unsur kebudayaan bisa dengan cara yang “mengikuti” arus perubahan namun tidak meninggalkan unsur kultural dalam hal ini mengangkat kebudayaan tradisional atapun jiwa dari sebuah nilai tradisionalitas itu sendiri. Teater Studio Indonesia (TSI) yang merupakan salah satu kelompok teater profesional Banten berusaha membawa jiwa kultural tradisional dalam setiap penggarapan seni pertunjukan yang akan ditampilkan kepada para penikmat pertunjukan. Dengan melakukan metode penelitian selama beberapa kurun waktu kepada masyarakat (aktivitas sosial) menjadi senjata ampuh untuk menemukan jiwa kultural tersebut. Salah satunya adalah dengan menemukan jiwa seorang nelayan melakukan aktivitas keseharian dan tradisi masyarakat pesisir agar mampu menyatukan jiwa seorang nelayan dengan para aktor/pemain dalam pertunjukan teater nantinya, sehingga pementasan teater tidak hanya sebatas pementasan sandiwara yang sifatnya konseptual melainkan sandiwara yang bersifat kontekstual dan terlihat nyata.
Tidak banyak para penikmat serta pembuat pertunjukan yang mengerti akan bagaimana proses pembentukan karakter serta bagaimana menemukan jiwa dari sebuah pertunjukan seni peran ini. Otong Durahim salah satu seniman dari Teater Studio Indonesia ini memaparkan bahwa penemuan jiwa yang telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi adalah ketika seorang aktor/pemain dapat memisahkan antara perbuatan (olah gerak) dengan apa yang dipikirkan (olah rasa), misalnya adalah bagaimana ketika seseorang yang terkena bencana alam hebat akan merasa panik sehingga memisahkan mana yang logis menjadi tidak logis dan yang tidak logis menjadi logis dalam kaitan ini adalah bagaimana seseorang yang panik tidak dapat berfikir dengan jernih apa yang harus dilakukan sehingga fikiran dapat dipengaruhi oleh tubuh dan tubuh mengendalikan fikiran yang membuat pergerakan dalam pikirannya sendiri, padahal seharusnya fikiranlah yang mempengaruhi tubuh sehingga ia mengetahui apa yang harus dilakukan ketika bencana tersebut datang. Seorang aktor/pemain akan dapat menemukan jiwa ketika mereka dapat mengendalikan keduanya dimana gerak dengan apa yang ada dipikiran dapat melakukan aktivitas atau dalam hal ini bisa dikatakan sebagai multi tasking.
Kebangkitan...
Dahulu kita masih sering melihat seni pertunjukan, baik pertunjukan moderen ataupun pertunjukan tradisional seperti ketoprak dan ludruk, Di desa-desa yang masih menjunjung tinggi nilai kebudayaan ketoprak dan ludruk masih memilki peminatnya meski tidak sebanyak ketika terpaan globalisasi mulai masuk di Indonesia. Bahkan sekitar era 2000-an ketoprak memasuki ranah media elektronik televisi sebagai alat untuk melestarikan seni tradisional tersebut. Namun keberlangsungaan kethoprak di televisi tidak mampu bertahan lama. semakin moderen pola pikir masyarakat rupanya membuat para penggiat bisnis media masa malah mendiskriminasikan seni pertunjukan tersebut dengan menghilangkan dari layar kaca dan digantikan reality show yang kurang bahkan tidak memiliki intensi untuk mendidik masyrakat melalui konten isi di dalamnya.
Padahal bagaimanapun gagasan,ide, pola pikir yang berhamburan dalam setiap Imagine manusia seharusnya menjadi motivasi untuk membangkitkan seni pertunjukan kembali, Mensemestakan bahwa seni pertunjukan bukan sekedar sandiwara yang terkungkung dalam konsep-konsep tradisional (kuno), Melainkan dipandang sebagai cermin kehidupan dalam pola bermasyarakat. Kebangkitan tidak akan terjadi jika seni pertunjukan masih diukur berdasarkan nominal-nominal yang menghambat kreativitas para pelakunya, seni pertunjukan harus mampu mengembalikan kejayaan seperti di era masyarakat tradisional masa lampau dan mampu menjadi cermin hidup bagi setiap penikmatnya. Seni pertunjukan juga harus bangkit dari belenggu eksklusif komunitas yang nantinya mampu untuk mengembalikan kembali menjadi hiburan yang merakyat, kembali menemukan jiwanya dan mampu membawa pesan sosial melalui seni pertunjukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H