Pemaknaan ulang terhadap eksistensi civil societydalam perspektif konservasi adalah sebuah upaya intelektual untuk mereposisi, sekaligus melepaskan, masyarakat dari kerangkeng berpikir yang eksploitatif menuju kedewasaan berpikir yang adaptif. Tujuan besarnya adalah bagaimana mentransformasi sebuah masyarakat yang nalar berpikirnya tidak lagi eksploitatif terhadap hutan melainkan bersikap adaptif terhadapnya melalui proses-proses yang rekonstruktif.
Proses-proses rekonstruktif untuk mengubah masyarakat sebagaimana yang dimaksud di atas sangat perlu dilakukan mengingat pergeseran nilai-nilai yang terjadi di dalam tubuh masyarakat pos-neoliberalisme,terutama yang menyangkut tentang penggunaan instrumentasi kebijakan yang terlalu dominan dalam menguasai sumber daya hutan, telah menyisakan ketimpangan-ketimpangan moral yang menjadikan jarak (relasi) antara masyarakat dan rasa pedulinya terhadap hutan dan lingkungan telah bergerak semakin jauh.
Dengan demikian, merekonstruksi civil society dengan memasang ulang kesadaran baru untuk memulai hidup yang ramah lingkungan adalah sebuah langkah rasional yang perlu dilakukan sebagai upaya memperpendek jarak (relasi) tersebut. Ini mungkin terkesan sedikit radikal, tetapi, kita semua tahu, bahwa kerusakan hutan kita sudah sampai pada titik yang paling ekstrem sehingga perlu cara-cara radikal untuk mengembalikan itu ke tempatnya semula, termasuk mengubah pemikiran kolektif civil societydalam memandang hutan. Tulisan ini hadir sebagai bentuk upaya intelektual untuk memenuhi tujuan perubahan tersebut.
Reinterpretasi peran civil society memiliki dua tujuan utama; pertama, agar masyarakat seluruhnya, baik dari level grass root maupun dari level elit, bisa memahami dengan benar makna penting dari eksistensi hutan yang tidak hanya sekedar menjadi faktor produksi yang bisa seenaknya dikomodifikasi untuk kebutuhan pasar, lalu ditinggalkan dengan luka menganga tanpa ada proses recovery, tetapi harus dilihat sebagai ruang hidup yang eksitensinya menyokong kehidupan itu sendiri; yang berarti bahwa merusak hutan sama halnya menghancurkan kehidupan.
Yang kedua, reinterpretasi civil society dari perspektif konservasi juga berarti bahwa kita akan menelisik ulang sudah sejauh mana masyarakat, termasuk saya dan anda pembaca tulisan ini, telah berkontribusi positif pada keselamatan hutan dan lingkungan hijau kita; atau setidaknya hal-hal apa yang sudah kita hentikan dari kebiasaan umum yang jamak kita lakukan sehari-hari demi penyelamatan hutan kita yang sudah sangat kritis itu.
Dekonstruksi Civil society
Civil society adalah sebuah konstruksi. Ia lahir dari proses “ menjadi “ dengan basis konstruksinya berasal dari berbagai latar belakang dan beragam pemikiran yang ikut melandasi terbentuknya entitas itu. Civil society bukanlah sesuatu yang “given” atau “taken for granted”, tetapi sebuah pilihan kolektif yang dibangun sendiri oleh masyarakat berdasarkan pilihan-pilihan rasionalnya. Sehingga ini bukanlah sesuatu yang hadir tiba-tiba, tetapi dibentuk secara sadar.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsep civil society yang kita kenal selama ini cenderung bergerak seirama dengan kebijakan eksploitatif terhadap hutan dan alam karena pembentukannya sendiri secara sadar di sokong oleh kepentingan kapitalisme-neoliberalisme yang cenderung melihat hutan dalam perskpektif dagang, yang pada akhirnya melahirkan masyarakat “ pasar “ yang juga ikut berperilaku eksploitatif. Dan pada masyarakat “pasar “ inilah, seluruh komoditas dagang hasil merusak hutan itu bermuara.
Perilaku masyarakat yang eksploitatif ini dengan sengaja dipelihara dalam pengasuhan ideologi kapitalisme-neoliberalisme sehingga ideology rakus ini melanggeng bebas tanpa ada batas. Kapitalisme-neoliberalisme berupaya keras menjadikan masyarakat manusia sebagai titik sentral (antroposentris) atas semua pembangunan, sehingga seluruh sumber daya, termasuk hutan dan alam, harus tunduk pada pembangunan yang dimaksud. Caranya dengan terus mendesakkan pemikiran-pemikiran tentang gaya hidup modern yang sangat kental dengan nuansa “pakai dan buang”, yang pada gilirannya berimbas pada sumber daya yang terkuras habis dan rusak hanya untuk membentuk ulang produk baru yang sesuai dengan selera masyarakat “ pasar “.
Civil society dibuat nyaman dengan gaya hidup konsumtif semacam ini sehingga secara tak sadar telah mempengaruhi komunitas sampai pada tingkat adhiluwung atau filosofis sekalipun, bahkan dengan keji menjual kearifan lokal menjadi barang konsumtif atau cinderamata yang digelar dalam bentuk pariwisata lokal sebagai komoditas dagang.
Kesan kuno dan terbelakang yang terus di produksi dalam kemasan kearifan lokal ini pun laku di jual di pasar internasional, dan negara selalu bangga akan hal itu. Tetapi pada akhirnya, ini hanyalah sebuah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap kebudayaan itu sendiri, karena melepaskan kearifan lokal dari kekuatan yang memproduksinya, dan menempatkanya pada etalase jual beli di pasar kapitalisme-neoliberalisme.
Dewasa ini, dengan melihat banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pembangunan yang sangat masif, sudah seharusnya dominasi manusia atas hutan dan alam yang merupakan refleksi dari masyarakat “ pasar” harus dihentikan melalui rekonstruksi civil society, yaitu mengubah masyarakat dengan memandunya dari berperilaku yang eksploitatif menuju perilaku yang ADAPTIF; Sebuah perilaku yang tidak hanya akan melindungi sumber daya hutan dan lingkungan dari kerusakan masif, tetapi juga akan melindungi masyarakat manusia dari kehancurannya sendiri; Sebuah sikap yang menurut Aldo Leopold, yang juga dikenal sebagai “ nabi”nya ekologi, adalah intisari “ land ethic ” dimana manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam, baik pada level sikap maupun pemikiran.
Merekonstruksi civil society dalam perspektif “ land ethic“ adalah sebuah tugas “suci” membentuk kembali tatanan masyarakat yang mampu berhubungan dengan alam dengan cara bersahabat, bukan justru berhubungan dengan alam dengan cara menekannya agar tunduk.
Sigmund Freud, yang juga seorang psikoanalis, mengatakan bahwa tipe ideal hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang egaliter, bukan subordinat; dimana satu entitas menguasai entitas lainnya tanpa ada proses komunikatif diantara keduanya. Ruang kendali atas hutan dan alam tetap berada dalam tanggung jawab manusia, tetapi pengendaliannya berorientasi pada perlindungan. Artinya, melindungi hutan bukan berarti tidak memanfaatkannya sama sekali atau menafikan peran manusia, melainkan menjadikan manusia tetap sebagai pengguna utama sumber daya, tetapi moral pengelolaannya telah berubah dari eksploitatif ke adaptif.
Pada akhirnya, konstruksi civil society yang di baca dari perspektif “ land ethic “ sejatinya merupakan bentuk komunitas manusia yang telah lepas dari bayang-bayang kapitalisme-neoliberalisme, mampu mereproduksi kebijakan yang egaliter terhadap hutan dan alam, tidak terikat penuh dengan hasutan konsumerisme, memelihara perilaku hidup hemat dan bersahaja, serta memiliki watak adaptif terhadap sumber dayanya.
Tafsir “ land ethic “ yang mengaksentuasi pada perubahan moral dari eksploitatif ke adaptif sangat menarik jika dibingkai dalam konstruksi civil society. Tatanan masyarakat dengan kualifikasi sikap positif sebagaimana digambarkan pada paragraph di atas merupakan bentuk ideal masyarakat yang akan mudah menerima semangat pembaruan dan kecintaan pada hutan dan alam. Upaya menciptakan sinergitas dalam tubuh masyarakat untuk konservasi hutan dan lingkungan pun akan semakin mudah dilakukan apabila tatanannya telah berubah ke arah itu.
Sinergitas Civil society : Memperkuat Harmoni
Upaya mensinergikan seluruh elemen masyarakat dalam satu gerakan perlindungan hutan dan alam tidak bisa dilepaskan begitu saja dari upaya mengkonstruksi civil society yang berlandaskan “ land ethic “. Gagal membentuk masyarakat yang sadar lingkungan dalam bingkai “ land ethic“, maka gagal pula membentuk sinergitas yang dimaksud. Dengan demikian, himbauan untuk mengajak masyarakat agar peduli dengan hutan dan lingkungan hanya akan berdampak parsial dan tidak akan bertahan lama apabila tatanan masyarakatnya sendiri masih terikat kuat dengan moral eksploitatif, seperti konsumerisme, hedonisme, dan sebagainya.
Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan konkret untuk memoderasi ulang pemikiran kolektif masyarakat dengan mengaksentuasi pada pendidikan konservasi yang menggugah. Jika tidak bisa melalui jalur pendidikan formal, maka setidaknya pendidikan konservasi ini bisa dilakukan dalam jalur-jalur pendidikan non formal serta melalui habituasi kultural secara menyeluruh, berjenjang, dan terintegrasi di seluruh lapisan sosial masyarakat.
Habituasi kultural adalah pembiasaan perilaku kolektif secara kontinyu sehingga otomatis akan membentuk kebudayaannya sendiri. Menyeluruh, berjenjang dan terintegrasi bermakna bahwa proses pembiasaan tersebut dilakukan dari level atas sampai bawah, melibatkan para pemegang jabatan dan leader di masing-masing instansi dan lembaga pergerakan, dan dilakukan secara harmoni dalam satu gerak yang terkoordinir secara rapi.
Di level elit, misalnya, negara harus mulai membiasakan mengkontruksi kebijakan pembangunan nasional yang bersifat adaptif terhadap seluruh sumber daya secara komprehensif. Contohnya pada pembangunan kota, negara harus cerdas dalam memodeling pembentukan kota yang bisa kita sebut dengan istilah futuristiccity, atau sebuah tata kota yang berteknologi tinggi tetapi tetap mempertahankan unsur-unsur alami di dalamnya dan menjadikan kebudayaan lokal sebagai basisnya.
Di level menengah sampai level grass root, perlu adanya pembentukan kebudayaan baru yang bercirikan gaya hidup yang berkonsep ramah lingkungan dengan menganut prinsip reuse, recycling, reduce. Gaya hidup yang dimaksud harus mampu menjiwai semua elemen aktivitas hidup masyarakat mulai dari aktivitas sandang, pangan, dan papan. Semua pengetahuan teknis yang akan dan atau sedang dikembangkan dalam masyarakat harus berorientasi pada konsepsi “ land ethic “ ini.
Pada akhirnya, semua elemen masyarakat harus bergerak dan memberi teladan untuk mewujudkan kepedulian pada hutan dan alam. Sinergitas dari seluruh elemen masyarakat dengan demikian sangat dibutuhkan agar cita-cita ini bisa terwujud.
Tulisan ini mungkin terkesan sangat imajinatif bila di baca dalam logika kapitalisme-neoliberalisme yang tengah mengangkangi kehidupan kita saat ini. Tetapi, percayalah, perubahan radikal itu adalah sebuah keniscayaan. Jika bukan kita yang memulai perubahannya secara sadar, maka alam akan melakukannya sendiri dalam bentuk natural retaliasi atau “ balas dendam alam “ yang tentunya akan sangat destruktif dan berbahaya bagi keberlangsungan umat manusia seluruhnya. Tulisan ini hadir untuk mengingatkan pentingnya membangun sinergitas untuk kepedulian pada hutan dan alam. Sekaligus untuk memberi pijakan berpikir bahwasanya ide perubahan dari eksploitatif menuju adaptif bukanlah sesuatu yang klise,tetapi sesuatu yang sangat rasional untuk dikonstruksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H