Pengaruh flexing menurut Pramudya dkk. (2023), orang mungkin bertanya-tanya mengapa mereka tidak bisa mendapatkan sesuatu yang mirip dengan pelaku flexing. Kondisi ini akan berujung pada depresi dan berdampak negatif pada harga diri sehingga menyebabkan orang  berbohong agar terlihat kaya agar diakui orang lain. Memang benar, seseorang akan kehilangan jati dirinya dan merindukan pengakuan terus-menerus.
Flexing bisa berdampak signifikan pada kesehatan mental bagi mereka yang melakukannya. Seseorang mungkin menunjukkan tindakan flexing karena merasa kurang dikenal dan  diterima di lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan seseorang untuk mencari pengakuan dari orang lain.  Orang yang flexing mungkin merasa perlu  berbohong atau mengungkapkan diri  secara tidak jujur untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan yang mereka inginkan. Dampak flexing terhadap kesehatan mental bisa sangat parah. Orang yang suka dengan flexing dapat menderita depresi karena mereka membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Mereka mungkin bertanya-tanya mengapa orang lain memiliki hal-hal yang tidak mereka miliki, yang dapat menimbulkan perasaan tidak berharga dan rendah diri.
Selain itu, seseorang yang flexing sering kali tidak menjadi dirinya sendiri, dan mungkin berperilaku di luar kemampuan dan kepribadiannya yang sebenarnya. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya identitas dan kesulitan dalam menentukan arah yang sebenarnya dituju oleh pelaku flexing. Dalam jangka panjang, pelaku flexing juga bisa bergantung pada validasi orang lain. Mereka selalu mencari kepuasan dan pengakuan melalui perilaku flexing yang menunjukkan kekayaan atau gengsi. Ketergantungan ini sebenarnya dapat mempengaruhi kepuasan diri dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya, flexing dapat memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan mental seseorang. Ini termasuk depresi, gangguan harga diri, kehilangan identitas, dan ketergantungan pada validasi dari orang lain. Penting bagi orang yang merasa terlibat dalam perilaku flexing untuk memahami dan mengatasi pengaruh negatif ini dan mengutamakan kepuasan dan kesehatan mental yang sebenarnya.
Dalam sudut pandang Islam, budaya tersebut dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena memang ajaran Islam melarang hidup mewah (Fatimah & Putri, 2023). Meski ada larangan, namun pembelokan budaya  tidak bisa dihindari karena terkait dengan psikologi dan perilaku seseorang yang selalu ingin pamer. Khususnya di dunia maya melalui jejaring sosial. Keinginan yang diungkapkan dalam perilaku tersebut tidak lepas dari keinginan orang yang selalu ingin mengungkapkan apa yang terlihat secara kasat mata. Guy Debord (dalam Fauziah, 2023) menjelaskan bahwa masyarakat ingin menampilkan sesuatu yang terlihat, terutama melalui media sosial berupa konten foto atau video. Hal ini dilakukan untuk mengkonstruksi identitasnya sesuai dengan keinginannya. Namun kenyataannya mereka tidak sekadar menunjukkannya. Mereka pun memamerkan apa yang mereka miliki atau mampu capai hingga perilaku tersebut menjadi budaya pamer. Flexing dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok, menyembunyikan kekurangan, dan mencapai perasaan validasi dan kepuasan dari orang lain (Ekaptiningrum, 2023). Padahal dalam pandangan Islam terdapat pertentangan terkait budaya flexing yang mengarah pada perilaku pamer harta. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini budaya tersebut juga digunakan dalam media pemasaran yang bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat (Mutmainnah dkk., 2023). Meskipun demikian, ekonomi Islam masih menganggap budaya tersebut berlebihan, sehingga apapun tujuannya, jika ditampilkan secara berlebihan, tetap bertentangan dengan kaidah Islam. Dengan pemahaman akan larangan tersebut, pengguna media sosial tetap dapat melakukan konstruksi identitasnya dengan baik.
 Selain bertentangan, flexing juga termasuk kesenangan pada manusia yang dapat membawa seseorang ke neraka (Pohan dkk.,2023). Oleh karena itu, pemanfaatan media sosial dapat dilakukan dengan memahami batasan batasan perilaku dalam kaidah Islam. Hal ini dapat dicapai dengan memahami apa yang dibutuhkan pengguna untuk membangun identitas mereka (Mutmainnah dkk., 2023).
 Masyarakat perlu memahami dirinya sebagai penerima informasi sehingga pengguna jejaring sosial dapat menetapkan batasan dalam penggunaan jejaring sosial. Dalam hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan dan menghindari tindakan flexing, terutama yang dilakukan dengan berlebihan. Karena flexing merupakan suatu tindakan menampilkan pesona diri, maka hal ini dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi karena tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh  orang yang melakukan flexing tersebut. Masyarakat juga harus tahu bahwa flexing dan pamer itu dilarang keras oleh agama .Jadi, hindari melakukan flexing agar kesehatan mental tetap terjaga.
Referensi:
Cambridge Dictionary. (2013). Â Cambridge Advanced Learner's Dictionary Fourth Edition. Cambridge University.
Ekaptiningrum, K. (2023). Dosen UGM Beberkan Alasan Orang Berperilaku Flexing. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/23509-dosen-ugm-beberkan-alasan-orang-berperilaku-flexing/
Fatimah, S., & Putri, O. M. P. (2023). Flexing : Fenomena Perilaku Konsumen dalam Perspektif Islam. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 9(1), 1204--1212.
Fauziah, N. (2023). Flexing dalam Masyarakat Tontonan: Dari Tabu Menjadi Sebuah Strategi. Jurnal Komunikasi Dan Budaya, 04(01), 62--76.