"Ayaaaaah" teriakku sambil mengulurkan tangan disela putaran kereta mainan dipusat perbelanjaan. Dan ayah pun mengulurkan tangannya untuk menyambut uluran tanganku. Sesekali kutengok ayah, kulihat raut bahagia dan senyum yang terlontar dari bibirnya itu terlihat tulus sekali.
***
Anakku, teriakanmu itu, meresap sampai disini, nak. Dihati ayah. Senang rasanya ayah masih bisa melihatmu bertumbuh. Putriku, gadis kecilku. Rasanya baru kemarin ayah mendengar tangisan pertamamu, mengumandangkan adzan dan menggendongmu. Hari ini, kau mengulurkan tangan dan memanggilku dengan sebutan ayah, nak.
Dibalik senyum yang ayah tampakkan ini, sebenarnya ayah sedang memendam kekhawatiran. Kini kau sudah berusia empat tahun, besok mungkin kau sudah berusia tujuhbelas tahun dan bisa jadi lusa kau sudah dipinang oleh teman priamu, nak.
Anakku, putri kesayangan ayah..
Masih bisakah ayah menggenggam tanganmu hingga ayah tua nanti?
Masih adakah waktu yang tersisa untuk ayah menyerahkanmu pada lelaki pilihanmu?
Bisakah ayah menyaksikanmu melahirkan buah cintamu dan menggendongnya meskipun sebentar?
Ah, lamunan ayah terlalu jauh, nak. Tapi waktu, waktu tidak akan pernah berhenti untuk menunggu kita.
Semoga saja ayah masih bisa melihatmu membesarkan cucu-cucu ayah ya, nak.
Semoga..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H