Siang ini saya kedatangan sepasang tamu. Keduanya sudah cukup berumur. Keberumuran beliau dapat dilihat dari kerutan wajah yang mulai menebal serta cara bicara yang sudah terbata-bata. Saya menyebut beliau sebagai mbah kung dan mbah uti. Uniknya, mbah uti mengenakan gelang emas di lengan kirinya. Bukan hal yang wajar, mengingat kehidupan desa yang seringkali kesulitan terhadap akses sandang, pangan, dan papan.
Beliau memerkenalkan diri sebagai salah seorang kakak jauh kakek. Anak pertama dari enam bersaudara. Empat diantaranya sudah mati. Sebentar, otak saya mencerna. Apakah mbah uti baru saja mengucapkan mati? Kepada seorang manusia yang telah tiada beliau beri istilah dengan mati? Oalah. Ucapan beliau dikonfirmasi dengan penggunaan kata mati yang –ternyata-berulang-ulang.
 Hal ini jauh berbeda manakala saya sowan kepada tetangga di Kota Solo, yang menggunakan kata wafat dan meninggal dalam mendeskripsikan  seorang manusia yang telah tiada. Berbeda lagi di hadapan para kyai, guru, serta orang-orang berilmu yang memilih menggunakan kata kapundut. Bahkan kata meninggal pun dirasa masih terlalu kasar menurut beliau-beliau.
Sekiranya saya boleh menghubungkan hal ini dengan budaya dan pendidikan setempat, izinkan saya untuk merangkumnya dalam 3 poin. Pertama, Bahasa sebagai ibu budaya masih memegang peran penting dalam tutur kata pelaku budaya yang tentu beragam di tiap lokal.
Budaya ini juga secara langsung turut mengisyaratkan tingkat pendidikan yang telah dienyam oleh masyarakat lokal. Mayoritas pengguna bahasa yang luhur, santun, dan menentramkan hati lahir dari hati yang suci. Kesucian hati ini merupakan anak dari pendidikan yang mendalam dan lama.
Penggunaan bahsa yang sopan juga menyejukkan hati lawan bicara. Pemikiran pertimbangan ini tidak mungkin didapat kecuali dengan pendidikan karakter yang kuat. Lagi-lagi pendidikan. JG Miller (2001) dalam bukunya Culture And Moral Development berpendapat bahwa fenomena ini terjadi atas pendidikan moral yang tentu diawali oleh orang tua.
Orang tua sebagai pendidik pertama menjadi contoh bagi anaknya, dan tak lama anak cucunya. Pola ini akan terus berjalan, turun menurun, hingga generasi selanjutnya. Maka untuk memutus rantai penggunaan kata mati sebagai sebuah istilah bagi manusia yang telah tiada, tidaklah lebih indah jika orang tua mulai memilih kata yang lebih halus.
Buahnya, anak cucu akan dapat menggunakan bahasa dengan sopan, belajar menghargai perasaan orang, dihargai oleh lawan bicara, serta menjadi pohon yang teduh di masyarakat. Tentunya, diharapkan dengan mengganti satu kata ini saja, dapat menjadi awal dari penggantian banyak kata lainnya yang lebih santun serta mengenakan hati. Semoga!
Sungkem untuk beliau para guru yang telah mengajari hikmah lewat sebuah kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H