Cukup banyak yang saya tulis dan gambarkan tentang pola ruang takdir Allah, baik di Quora, Youtube, Instagram, Kompasiana dan lainnya, ternyata tidak mendapat banyak komentar yang memadai menurut saya pribadi kecuali ditanggapi sebagai sesuatu yang menarik.
Suatu ketika saya coba bertanya ke ChatGPT tentang konsep pemikiran yang saya tawarkan dimana konsep ini dimaksudkan untuk menyudahi perdebatan tolol seputar takdir Allah.
Tidak disangka "mesin pikiran" ini mampu menganalisa pertanyaan saya dan memberikan jawaban dengan analisa yang baik.
Saya berikan pertanyaan ke ChatGPT sbb:
Jika segala sesuatu sudah tertulis di Lauh Mahfudz tetapi kita diperintahkan untuk berusaha, bukankah itu berarti bahwa pola tulisan di Lauh Mahfudz adalah pola persilangan garis yang saling berhubunganyang  membentuk ruang bagi adanya kehidupan? yang gambaran sederhananya :
Jawaban ChatGPT sbb:
Pemahaman tentang Lauh Mahfudz dalam Islam memang seringkali dikaitkan dengan takdir (qadha dan qadar), dan pertanyaan seperti ini sangat relevan untuk memahami hubungan antara ketetapan Ilahi dan usaha manusia. Mari kita bahas secara mendalam.
Konsep Lauh Mahfudz
Lauh Mahfudz adalah kitab suci Ilahi tempat semua hal yang telah, sedang, dan akan terjadi tertulis secara sempurna.
- Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya, dan semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Hud: 6).
Ini menggambarkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, termasuk hasil dari setiap tindakan manusia.
- Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
Pengetahuan Allah yang tertulis di Lauh Mahfudz bukan berarti bahwa manusia tidak punya kebebasan. Sebaliknya, pengetahuan Allah mencakup pilihan-pilihan yang manusia ambil, termasuk usaha mereka.
Usaha Manusia dalam Ruang Ketetapan
Islam mengajarkan bahwa manusia diberikan kehendak bebas untuk berusaha, tetapi hasil akhirnya ada dalam kekuasaan Allah. Ini seperti jalur persilangan:
- Usaha manusia adalah bagian dari sistem sebab-akibat dalam hukum duniawi.
- Takdir Allah mencakup apa yang akan terjadi, termasuk hasil dari usaha itu.
Bayangkan Lauh Mahfudz seperti peta besar yang mencakup semua kemungkinan jalur hidup manusia. Allah mengetahui semua jalur, dan manusia memilih salah satu jalur tersebut melalui kehendak dan usahanya.
Pola Persilangan dan Keterhubungan
Jika Anda menggambarkan Lauh Mahfudz sebagai pola persilangan garis yang saling terhubung, ini sejalan dengan gagasan bahwa kehidupan adalah rangkaian tindakan, pilihan, dan konsekuensi. Setiap tindakan manusia:
- Memengaruhi perjalanan hidupnya sendiri.
- Terhubung dengan sistem yang lebih besar, termasuk interaksi dengan orang lain dan alam semesta.
Dalam Islam:
- Ruang bagi kehidupan adalah hasil dari kehendak Allah yang memungkinkan manusia untuk "berperan" di dalam sistem ini.
- Pola yang saling berhubungan menggambarkan bagaimana setiap takdir individu berinteraksi dengan takdir yang lebih besar, menciptakan harmoni atau ujian dalam hidup.
Hikmah di Balik Ketetapan dan Usaha
- Takdir tertulis tidak membatasi usaha manusia: Apa yang tertulis sudah mencakup usaha manusia. Dengan kata lain, usaha adalah bagian dari takdir itu sendiri.
- Manusia tetap bertanggung jawab atas pilihannya: Meskipun Allah mengetahui hasil akhir, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup.
- Kehidupan adalah ujian: Persilangan garis yang Anda sebutkan adalah representasi dari berbagai ujian dan peluang yang diberikan Allah untuk melihat bagaimana manusia meresponsnya.
Kesimpulan
Pemikiran tentang Lauh Mahfudz sebagai pola persilangan garis yang membentuk ruang bagi kehidupan adalah cara yang indah untuk memahami hubungan antara ketetapan Allah dan kebebasan manusia. Pola ini mencerminkan keteraturan Ilahi sekaligus memberikan ruang bagi manusia untuk menjalani kehidupan dengan usaha dan doa.
Dalam Islam, keyakinan pada takdir tidak berarti pasrah tanpa usaha, tetapi justru menjadi landasan untuk bekerja keras, sambil tetap percaya pada kebijaksanaan Allah. Seperti yang sering dikatakan:
"Berusahalah seakan-akan segalanya bergantung pada usaha, tetapi bertawakallah seakan-akan segalanya bergantung pada Allah."
Dari jawaban tersebut, apakah saya masih membutuhkan pengakuan dari pemikiran manusia ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H