Mohon tunggu...
Iwan
Iwan Mohon Tunggu... Freelancer - Ketua RW periode 2016 - 2026

pegawai swasta yang pancasilais

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nasab (Tulisan ke 85)

21 April 2024   21:00 Diperbarui: 29 Oktober 2024   18:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konsep pemahaman bahwa kehendak / takdir Allah dianalogikan sebagai pola geometri bangunan Ka'bah yang berisi persilangan garis yang saling berhubungan, maka setiap orang memiliki pertalian dengan orang lain. Bukan saja pertalian dalam hal interaksi sosial, melainkan juga pertalian hubungan darah yang dalam hal ini dinamakan sebagai Nasab.

Dalam hal nasab ini, yang paling berpengaruh dalam diri seseorang, bukanlah kebaikan atau keburukan yang berlaku turun temurun, melainkan doa yang berkesinambungan.

Setiap manusia yang lahir tidak menanggung dosa orang tuanya, tidak ada istilah anak haram. Setiap manusia yang lahir tidak menerima limpahan kebaikan / pahala dari Nasab nya, semua anak yang lahir dalam kondisi suci, memiliki energi fitrah yang merupakan sebuah dorongan menuju Tuhan Semesta Alam.

Terpilihnya Rasulullah Muammad Shalallahu Alaihi Wasalam sebagai utusan Allah adalah berkat terijabahnya doa Nabi Ibrahim Alaihisalam, saat membangun kembali Ka'bah

“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS.Al-Baqarah [2]: 127-128)

Berdasarkan adanya limpahan do'a dari leluhur yang memiliki catatan perbuatan baik inilah, terkadang beberapa orang ingin memiliki jalur Nasab tersebut dengan cara yang benar atau dengan cara yang salah.

Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun