Saya langsung tertarik dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Anggap saja air, karena air ada di mana-mana. Meskipun masih ada Negara-negara tertentu yang sumber airnya sedikit, namun keberadaan air bisa dibilang mudah dijangkau. Mungkinkah air bisa menjadi energi yang menggantikan minyak gas untuk kendaraan? Atau mungkin limbah plastik dapat disulap menjadi campuran aspal agar terbentuk jalan raya yang mulus dan tak bergelombang? Jika ada ilmuwan yang menemukan, hal ini bisa membuka sejarah baru untuk mencapai Net-Zero Emissions dalam bentuk teknologi ramah lingkungan, dan dapat memecahkan masalah agar terhindar dari limbah plastik yang membandel seperti kondisi lingkungan saat ini.
Mungkin di atas hanyalah argumen sederhanaku saja. Anak Desa yang hanya turut menyampaikan dukungan agar bumi ramah lagi dengan manusia. Bukan hanya ada kepulan-kepulan asap dan kumpulan fatamorgana yang tidak selalu sedap untuk dipandang. Bukankah indah jika ada burung berkicau, awan yang bersih, angin yang segar, dan hijaunya tumbuh-tumbuhan yang sejuk karena alam terjaga dengan baik? Syukurlah jika memang hal ini menjadi langkah awal untuk menuju gerakan emisi nol bersih dalam mewujudkan misi bersama untuk memulihkan dunia.
Secara bahasa atau di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emisi adalah pemancaran cahaya, panas, atau elektron dari suatu permukaan benda padat atau cair. Pemancaran cahaya dan suhu panas lebih dominan menghampiri berbagai Negara saat ini. Pandemi virus Covid-19Â memang membatasi aktivitas manusia sejak akhir tahun 2019 lalu, namun siapa sangka pandemi juga berdampak pada kondisi bumi yang derajat panasnya bertambah yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dari berbagai aspek.Â
Dari segi industri maupun non industri contohnya. Karena industrialisasi merupakan salah satu faktor pengisi emisi di bumi ini. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan non industri penghasil limbah dan elektron yang dilakukan manusia. Keduanya sama-sama menghasilkan emisi yang memiliki jumlah karbon ataupun elektron yang berbeda. Jangankan kedua faktor di atas, manusia bernapas saja juga menghasilkan emisi berupa karbon dioksida. Sehingga hal ini sangat mempengaruhi terjadinya pemanasan global.
Kegiatan industrialisasi terus digalakkan di Negara maju dan Negara berkembang, termasuk Negara Indonesia. Mungkin memaksimalkan pengembangan industri dianggap suatu keharusan dan dapat meraup banyak manfaat dan keuntungan bagi pihak tertentu. Tanpa memperdulikan bagaimana dampak negatif jangka panjang jika tidak disertai dengan keseimbangan lingkungan.Â
Namun bagi pihak yang lain, industrialisasi dianggap sebagai momok yang mengkhawatirkan bagi lingkungan. Mengapa tidak? Kegiatan industri kebanyakan menghasilkan limbah, dan limbah terkadang muncul di sekitar lokasi industri tersebut berada. Wajar saja jika semua elemen di lingkungan sekitar tidak tahan dengan adanya hal itu. Entah dari air yang tercemar, asap yang mengepul, suhu panas yang menyebar, udara yang tak segar seperti pada umumnya, dan lain sebagainya. Inilah dampak daripada industrialisasi yang tak terkendali. Hanya menguntungkan satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain menjadi sengsara.
Namun demikian, jika kegiatan industri di stop, secara tidak langsung dapat menyebabkan merosotnya ekonomi dan turunnya keaktifan sumber daya manusia di dalam suatu Negara dalam mengelola energi yang kaya akan fungsi dan manfaatnya.
Alhasil, jika keduanya sama-sama memiliki peran penting, maka keduanya bisa berjalan bersama-sama untuk menjaga kestabilan hidup. Kegiatan industri dan non industri yang menimbulkan emisi tetap berjalan, namun kegiatan yang dapat menyerap emisi di luar batas kewajaran, serta segala kegiatan yang tujuannya untuk mencegah deforestasi juga harus dijalankan (Simbiosis Mutualisme). Sebagai solusi jika menginginkan dunia ini betah bersahabat dengan manusia.
Dari itu, Saya mengkategorikan masalah menjadi dua faktor untuk menganalisis sejauh mana kegiatan Net-Zero Emissions dapat berjalan dengan cepat. Atau mungkin berjalan lambat dengan adanya kendala.
A. Faktor Penghambat