Lelah kaki ini memijak pedal gas yang ada di sebelah kanan bawah, dan pedal kopling yang terus mengimbangi irama kemacetan Jakarta.
Emosi kian memuncak, ketika pengemudi lain ikut menambah keruwetan dengan etika rendah mereka pada saat berkendara, bahkan tidak jarang pengemudi kendaraan adalah pemiliknya dengan baju perlente.
Tapi, harus tetap dijalani, kan mau mencapai tujuan? Emosi demi emosi, serapah sumpah terucap dalam hati, alunan biduan pada CD yang tak kian kunjung mengobati, ah..Jakarta ku..kau menjadi korban ketamakan, keserakahan para pejabat yang sangat pandai bersilat lidah.
Pecah hening dalam kabin mobil yang kukendarai, rupanya raungan sirine dengan kerlap kerlip cahaya biru memancar jelas walaupun bermandikan sinar matahari, ya..saya kenal betul suara itu…
Munculah pria gagah dengan pakaian aparat, bermotor cc besar, memerintahkan kendaraan di depannya untuk menyingkir, minggir, melipir kiri dan kanan, tak lama kemudian mengikuti sebuah mobil sedan mewah, dengan kaca film yang gelap sehingga mustahil dapat melihat siapa yang di dalam.
Tapi saya tau siapa dia yang di dalam kendaraan itu, dan semua dari mereka yang berjalan menggunakan pengawalan, memecah kemacetan dengan kuasa nya, walaupun dia bukan Tuhan, tapi dia mampu menjadi penentu lalu lintas, dari macet ke lalu lintas yang lancar.
Siapa dia? Tidak lebih dari seorang pengecut, yang tiap kali melakukan hal itu, selalu tak lepas dari cacian pengguna jalan lain yang sedang menggunakan jalan. Mereka digaji dengan pajak rakyat, tapi mereka mampu menginjak manusia-manusia yang membayar mereka.
Wahai pejabat, atau kerabat pejabat, yang tidak mau terhambat, dengan cara membabat rakyat, satu kata buat kalian, berobat, bertobat, jangan menjadi manusia laknat!
Mulut kalian manis, hanya karena kalian ingin laris, dan mendapat pujian yang fantastis, tapi kalian hanya membuat kami menangis, menangisi pimpinan yang kami pilih, dengan segala dalih, bermimpi negri ini akan pulih, bukan dengan pamrih.
Wahai para pengecut, hadapilah kenyataan lalu lintas yang berangsut, jangan hanya bersungut bila kami nyatakan kebenaran, karena ini semua adalah sebuah sinaran kedalam hati kalian yang sudah temaram dimakan ambisi.
Wahai para pengecut, lihatlah, semua orang ingin menjadi pengecut, bahkan merekapun mempersenjatai dengan perangkat para pengawalmu, berkilauan, meraung ditengah kemacetan, sedangkan kawan kalian sesama pengecut, tak berani bertindak bagai berjalan tanpa k*ncut! Dan membiarkan konflik abadi terus meluas, berkembang bebas, dan akhirnya menjadi luka baru dan terus muncul luka baru.
Wahai para pengecut, dengarkan ini, dalami, dan sadari apa yang kalian telah perbuat selama kalian menjadi pengecut jalan raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H